20.

17.5K 2.7K 60
                                    

Enjoying~












Bianca berdiri termenung di Balkon kamarnya. Menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon, menikmati langit malam yang reduh dengan angin sepoy yang menyapa tubuhnya.

Pandangannya menatap lurus ke atas, melihat langit tanpa bintang. Fikiran nya melayang pada putra bungsunya.

Bolehkan untuk saat ini dia egois? Dia menginginkan Bale disisinya. Dia ingin Bale berada di dekatnya dan menjadi poros bagi kehidupannya.

Setelah pengusiran yang di lakukan oleh mantan suaminya, tidak di anggap oleh kedua putranya  dan di tatap rendah seolah dirinya adalah sampah di mata mereka.

Masih teringat jelas di ingatan, dimana ia di caci maki karena tak dapat mengandung kembali. Setelah melehirkan Baleerick, dokter mendiagonis Bianca jika ia tidak bisa mengandung karena terdapat tumor kecil di bagian rahimnya, karena hal tersebut Rahim Bianca terpaksa di angkat.

Sedari itulah, ia mulai di anggap rendah. Tidak di pertemukan dengan bayinya di usir secara tidak hormat. Kedua putranya hanya menatap dirinya tanpa ekspresi, melihat bagaimana dirinya di rendahkan tanpa ada niat untuk membela.

Sakit, hatinya sakit melihat hal tersebut. Melihat bagaimana putra-putranya menatap dirinya seperti seonggok sampah yang harus di buang.

Psikisnya sedikit terganggu, ia pulang kerumah ayahnya dengan berantakan. Menangis pilu di pangkuan sang ayah, menceritakan keluh kesah dirinya.

Bertahun-tahun ia lewati dengan harapan bisa bertemu dengan putranya, putra bungsunya. Dan harapan itu terkabulkan.

Namun lagi-lagi pria itu menjauhkan kembali dengannya, dengan putra yang seharusnya menjadi haknya. Takdir seperti mempermainkannya, membuatnya terlihat seperti wanita egois dan serakah.

Yang ia inginkan hanyalah kebahagian kecil bersama putranya. Tidak bisa di pungkiri,putra bungsunya sudah menjadi poros dalam kehidupannya. Fakta jika ia masih hidup sampai saat ini adalah karena keinginannya untuk bertemu dan bahagia bersama Baleerick putranya.

Tak terasa lelehan air mata turun dari pelupuk matanya, tapi kuasa menahan tangis. Tangisan pilu seorang ibu yang begitu merindukan anaknya.

Langit malam menjadi saksi bisu, betapa rapuhnya wanita itu.

"Tuhan. jika memang kau tidak mengizinkanku bahagia, setidaknya buatlah aku bertemu dengan putraku kali sekejap. Setelah itu terserah padamu," lirihnya.

________________________

"Bagaimana bisa ayah begitu ceroboh!" Areez menatap sang ayah dingin, kemudian menatap adiknya yang tengah tertidur.

Niatnya pulang cepat agar segera bertemu dengan Bale. Melihat wajah adiknya akan membuat rasa penat sehabis bekerja hilang seketika. Dan betapa kaget nya ia, bukan wajah manis sangat adik malah  melihat perban yang melekat pada wajahnya.

Saat mengetahui penyebabnya, Areez langsung menatap tajam sang pelaku. "Ayah tidak sengaja boy." Royce menghela nafas.

"Ketidaksengajaan ayah membuat adikku terluka."  Areez mendekati Bale, memperhatikan wajah damai adiknya. Mengelus puncak kepala Bale dan mengecup singkat keningnya.

"Lagi pula, bagaimana bisa Bale berada di ruangan bawah tanah." Royce mengangkat wajahnya. Benar juga, bagaimana bisa putranya itu berada di ruangan itu.

Sialan ini pasti karena Reinhard. Lihat saja,ia akan menghukum ajudan bodohnya itu. Jika di fikir kembali ini bukan sepenuhnya salahnya. Jika Bale tidak mengejutkan dirinya, ia tidak akan kaget.

"Mau bagaimana pun ayah mengelak,semua tetap salahmu," kata Areez seolah tau apa yang di fikirkan sang ayah. Wajah Royce menjadi masam.

"Seminggu lamanya, jangan bertemu dengan Bale. Biar aku yang mengurusnya, kau urus sama Paman dan keluarga itu." putus Areez tak ingin di bantah.

Sekali lagi Royce menghela nafas. Memiliki putra seperti Areez memang sangat membanggakan, tetapi terkadang menyebalkan secara bersamaan.

"Ayah, bagaimana jika mereka berhasil membawa Bale?" Areez menatap lekat ayahnya.

"Itu tak akan terjadi," balas Royce. "Selama kamu berada disini, dan selama ayah masih hidup," lanjutnya.

"Ayah sadar. Dari awal, semua ini terjadi karena ayah." Royce pergi dari sana, ia membutuhkan benda nikotin itu untuk menenangkan fikirannya.

Areez menatap kepergian ayahnya datar. Perubahan Bale membuat emosi yang selalu mereka tahan keluar dengan sendirinya. Perubahan adiknya berhasil membuat mereka bertarung dengan egoisme mereka.

Areez juga tak menampik hal tersebut.

"Manusia itu memang egois, mereka serakah. Segala keinginan mereka harus terpenuhi, tidak peduli dengan apa yang terjadi pada sekitar mereka." Areez menoleh ke arah adiknya.

Bale duduk dengan tangan sebagai sanggaan dagunya. "Begitu pula dengan kalian."

Areez terdiam dan mendengarkan. "Seolah tak terjadi apa-apa, kalian berlagak seperti korban. Ironisnya, ibu yang seharusnya menjadi korban sesungguhnya malah menjadi penjahatnya." Bale terkekeh pelan.

"Lucu sekali. kasihan sekali ibu, tapi aku tak berniat untuk berada disisinya. Sebenarnya aki juga tak berniat berada disisi kalian," ujar Bale. Areez mengeraskan rahangnya.

"Kau tetap akan bersama kami. Suka rela ataupun paksaan Bale!" dingin Areez, ia menatap tajam adiknya.

Bale lagi-lagi terkekeh. "Kak, keluar dari kediaman Lewis tanpa ketahuan saja bisa kulakukan, apalagi keluar dari kediaman ini." Areez bungkam. "Jika aku mau, aku bisa menghilang tanpa jejak."

"Tetapi tidak akan seru jika aku melakukan itu, aku ingin melihat bagaimana kalian berseteru memperebutkan aku yang tampan ini," ujarnya dengan senyum merekah.

"Kak..." Bale berdiri dan duduk berhadapan dengan kakaknya.

Menangkap kedua rahang tegas itu, menatap polos kakaknya seolah dia adalah makhluk paling suci di dunia nya. "Bagaimana rasanya menelan ludah sendiri?" ujar Bale sembari memiringkan kepalanya.

tbc

(•͈˽•͈)

800 kata (˶‾᷄⁻̫‾᷅˵)

Baleerick ✔ TERBITWhere stories live. Discover now