[03.❍──➤Tujuan]

700 115 8
                                    


"Toko ini berada dalam kendali kami."

.

"Bahkan dengan adanya aku, hal ini 'takkan terhindar. Baiklah Yang Maha Kuasa, Hambamu menerimanya."

Entah sudah berapa lama mereka bertahan dalam ruangan sempit. Yang jelas William telah menyusun rencana. Ah, bahkan--

"Aku disuruh memberikan ini padamu. Kalau tidak ibuku akan mati."

Anak lelaki datang. Tubuhnya penuh luka. Menyorotkan mata dan tangannya pada Helena yang memeluk lengan sang Lady. Benda pada tangan Bocah itu-- Grannat.

Keji sekali.

"Nak! Lepaskan benda itu dan menyingkir!" William melempar grannat dengan prioritas utama pada Sang Anak. Lalu dia memeluknya dan menyingkir.

DUARRR

Meledak. Toko bagian atas-- tempat mereka mempertahankan diri dan menyusun strategi --terbakar.

"Makan."

Saat William termenung di pinggir jalan dengan aura yang sama gelapnya dengan langit malam. Seseorang datang memecah segalanya.

"Terimakasih. Anda sudah makan?"

"Ya."

Penyergapan toko berakhir. Namun dalang dari semua ini masih ada dalam benak William. Yang jelas, Lord of Crime tanpa sengaja terlibat. Sepotong Roti dilahap, surai pirang sepertinya baru sadar dia melewatkan makan siang dan malamnya.

"Yang mereka incar itu Helena. Tapi mereka bahkan hampir membunuh semua pengunjung Toko. Betapa kejamnya. "

Lady yang memberinya roti berucap dengan intonasi mengeluh dan kesal.

"Ya. Pasti Helena mengetahui sesuatu."

Helena dengan gamblang diincar. Mereka 'tak tanggung. Anak kecil lain pun dijadikan umpan dengan kejam. Seolah tanpa belas kasih melakukan apapun yang diperlukan.

Manusia tidak bisa mempercepat hadirnya mentari. Bagaimanapun mereka 'tak kuat dengan gelap dan dinginnya malam.
Namun, ada baiknya mereka menunggu terbitnya.

Ketika akal mulai sempurna. Manusia akan memilah. Percaya bahwa hal yang diklaim miliknya hanya titipan. Lalu saat hal itu hilang, mereka tidak akan merasa sangat kehilangan. Betkata "Ini takdir." dengan dada lapang.
Tidak ada yang benar-benar bisa dimiliki manusia, kecuali perbuatannya.

Maka seharusnya. Tidak ada rasa sesak. Kecuali jika dosa menusuk dalam tanpa sadar.

"Helena dan Anak itu bagaiamana?"

William melipat kertas roti. Entah kemana setengah pikirannya.

"Bersama pihak kepolisian, beberapa Tim Medis, oh. Saya baru berbicara juga dengan Ayah Helena."

"Kebetulan, Saya juga ingin berbicara dengan Anda."

" Tapi saya 'tak ingin bicara. Bagaimana?"

Ah. Kalau diingat-ingat keras kepalanya si Lady ini mirip juga dengan Detektif Terhebat.

Rupawan pirang terkikik.

"Baiklah. Saya ingatkan, saya pernah menawarkan undangan minum Teh--"

"Tuan Moriarty. Anda meminta satu hari dengan saya bukan? Untuk sebuah pembicaraan? Sayangnya. Hari ini juga saya telah menepatinya."

"Apa?"

"Yah. Hampir seharian ini saya bersama Anda bukan? Kita terkurung dalam kejadian yang sama."

Lady bermanik Obsidian ini selalu mendominasi permainan dengannya. Rupawan Pirang kalut, permainan yang didominasi sang Lady sungguh tanpa celah. Tanpa kebohongan.

"Saya belum membicarakan hal yang ingin--"

"Itu salah Anda karna 'tak mengatakannya."

.
.

Jarinya memegang pena, bibirnya bersungging senyum, matanya menyorot senang, bahkan dia tengah bernyanyi kecil bersama lembaran kertas ujian.

"Profesor, Anda terlihat senang sekali. Ada apa?"

"Eh? Tidak ada apapun."

Universitas Durham.

Tempat William James Moriarty mengajar matematika sebagai seorang Profesor. Hebatnya dia sebagai Matematikawan Muda sudah diketahui Britania. Wanita manapun yang memandangnya akan jatuh seketika dalam pesona.

Yah. Bahkan anak kecil seperti Helena saja ikut merona.

"Aneh sekali. Anda benar-benar tampak senang loh!"

Rupawan pirang tersenyum menanggapi. Kalau diingat-ingat dia bertemu dengan Sang Lady itu dalam perjalan pulang dari Durham ke London. Mari coba lihat sampai pada tingkat mana keberuntungannya?

"Mungkin benar. Aku sedang senang."

"Wah! Mungkinkah Anda ingin menceritakannya?"

William berdehem, memangku wajahnya pada tangan.

"Baiklah."

:

"Dia sosok yang Indah. Terkadang kabur dari pengelihatanku. Tetapi cahayanya sejelas mentari terbit"

Langit malam tidak memiliki pengaruh apapun pada cahayanya. Tidak sama sekali. Saat ini pun cahayanya sempurna membuat mata Rupawan pirang hanya terpusat padanya. Seperti cara kerja mata.

"Sir Whiteley, telah kehilangan Adiknya. Membuatnya lepas kendali dan mengakhiri semuanya. Tujuan Hidupnya telah hilang."

Kata-katanya pada Sang Martir memang terdengar kejam dan gelap. Namun diluar dari segalanya William James Moriarty tengah takjub. Bagaimana gadis ini tahu hal itu? Hanya orang sekelas Sherlock Holmes yang bisa mengerti hal tersebut melewati berita.

Apa gadis itu melihat segalanya?

Ah. Pikiran Sang Rupawan berkata 'Tak mungkin.

"Saya mengahargainya sebagai Martir dari Negara ini, disisi lain. Dia telah salah karna bersandar pada sesuatu yang terbatas. Dengan begitu pula, tujuan hidupnya ikut terbatas."

Gadis itu terduduk di tempat paling jauh yang dia bisa. Manik kirmizi William mengerjap mengolah kata.

Dalam beberpa detik yang terasa sekian lama tanpa kata. William terbangun. Tangannya menyodorkan mantel hitam.

" Anda kedinginan. "

" Terimakasih."

" Saya ingin bertemu kembali."

"Baiklah, kita uji seberapa beruntungnya Anda."

.

William masih menyunggingkan senyuman bahagianya yang sama. Siswa yang mendengar ceritanya tadi nampak terpesona.

"Bukankah dia Wanita yang sangat cerdas Profesor?"

"Ya. Dia bahkan 'tak memberi celah untukku tahu namanya sekalipun."

Matahari yang terbit adalah sebuah kepastian. Tetapi orang takkan bisa melihat matahari jika dia menutup kain jendelanya.

Mari Lihat. Bagian yang manakah Sang Profesor Moriarty?

:














Oh, Ya Allah.
Maaf banget. Telat lagi. Iya saya agak sibuk sih akhir-akhir, apa lagi nambah ada Acara, sebagai anggota OSIS yang baek... Ya Mau gimana? :<
Pleas. Mungkin kalian bisa kasih saya saran? Saya rasa bakat tulisku lagi anjlok. :V

[30 Oktober 2021]


Lord of Crime [WilliamxReader]Where stories live. Discover now