Jam dinding berdenting tepat pukul dua dini hari, segala pikiran itu membuatnya kalang kabut dan dia akan memecahkannya besok atau lusa. Kedua netra terpejam dan pada akhirnya berpetualang ke alam bawah sadar.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Hei, Josh."

Hendra merendahkan intonasi, agak ragu untuk memulai dari mana.

Semenjak mereka saling mempeributkan di atas kepentingan masing-masing. Malam itu, Hendra justru menelan air liurnya sendiri setelah berpikir panjang mendengar cerita Joshua yang menanggung ujian begitu berat dibandingkan ujian yang diterimanya.

Dia bahkan tidak bisa melampaui kehebatan Joshua dalam menangani suatu masalah tertentu secara objektif dan kritis. Tidak seperti dia yang selalu berkeluh kesah yang tidak berdampak sama sekali.

Jika seandainya mereka berdua beradu di sebuah ring tinju, memang Hendra lah pemenangnya. Lain halnya ketika mereka berdua beradu dalam lomba debat, sudah jelas Joshua lah pemenangnya.

Mau seperti apapun itu dalam menyelesaikan sebuah masalah, tentu jalan terbaik dengan cara mendiskusikannya bukan malah saling berujar kebencian satu sama lain.

Joshua berdeham sebagai respons tanpa ada minat untuk menoleh ke belakang.

Dia duduk di atas undakan kedai sambil melirik sinar mentari yang menunjukkan diri di ufuk timur. Sekali dua kali pengendara roda empat dan roda dua melintas di aspal jalanan yang masih lengang. Terdapat pula seorang PKL mendorong gerobak dagangan bertuliskan "Bubur Ayam Pak Samsul" yang kemudian berhenti dan nangkring di seberang jalan sana.

Tak tertinggal, bunyi derit pintu besi perlahan merebak pagi hari. Tampaknya lapak atau gerai sebelah sudah mulai membuka usaha kembali.

"Josh ...." lirih Hendra lalu duduk tepat di sebelah Joshua dengan sedikit jarak.

Joshua masih menatap nanar pemandangan di depan. Tidak perlu hitungan mundur, PKL di sana sudah mendapat pelanggan pertamanya.

Hendra menggaruk-garuk kepala hingga rambut keriting yang mengembang itu sedikit kusut karenanya.

"Maaf soal semalam, Josh."

Hendra terkekeh pahit.

"Lucu ya? Biasanya kamu yang minta maaf duluan, Josh."

Kemudian Hendra terkekeh kembali.

Di lihat lagi, Joshua sama sekali tidak terusik. Sikap Joshua jauh berbeda dari yang biasanya turut mencairkan suasana.

Hendra lantas bergeming. Mencoba cara lain untuk meruntuhkan kesunyian di antara mereka.

"Waktu itu, Umar sempat bilang padaku untuk minta maaf lebih dulu. Aku tahu kamu masih marah, Josh. Dan maaf soal aku nggak nepatin kesepakatan itu. Seharusnya jauh-jauh hari kita ngelakuinnya."

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now