#23 IDIH!

331 84 14
                                    

~Terkadang kita harus melepaskan orang yang kita sayang, untuk menyayangi diri sendiri.~

Hai apa kabar?

Ada yang nunggu?

Saya masih tetap update meski lama, huahahah.

Selamat membaca.

~PART 23 ~

Pagi-pagi sudah dibangunkan dengan suara berisik cewek-cewek lagi gibah. Perasaan terakhir tidur masih di rumah sakit, bukan rumah uya deh, kenapa sekarang jadi heboh banget sih.

Aku membuka selimut yang menutupi wajah dari silaunya pencapaian anak tetangga—nggak, maksudnya dari cahaya matahari pagi. Ternyata yang berisik dari tadi kedua temannya Dahlia. Cewek kalau udah ngobrol meski tiga orang, tapi ramenya kayak satu RT lagi rapat. Aku bangun dan duduk di sofa dengan senyuman yang manis. Mencoba mengumpulkan nyawa yang kelayapan.

"Eh masnya bangun tuh," kata salah satu temennya.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Capek ya, Mas. Tidurnya nyenyak banget," sindir Dahlia. Padahal aku baru tidur tadi subuh, nggak tahu kenapa malah nggak bisa tidur semalaman, sama sekali nggak ngantuk. Aku malah puas banget bisa lihatin dia tidur, kayak momen langka lihat dia diem tanpa ngegas semakin terlihat cantik.

"Pasti sih, so sweet banget kalian," timpal teman satunya lagi.

"Ganteng juga." Salah satu teman Dahlia nyeletuk membuat kedua temannya menatap heran. Padahal apa yang perlu diherankan? Kan emang aku ini tampan dan pemberani, makanya dikasih nama Nenu. Menurut buku Sukmajaya di tahun 1029 Masehi nama Nenu adalah nama Kaisar yang sangat pemberani, gagah perkasa, selain itu dia juga sangat tampan. Sisanya nggak tahu karena ngarang aja.

"Hai temen Dahlia, aku ke air dulu deh. Duh udah siang ya." Aku gelagapan melihat ke jendela.

"Biasa aja jangan salting gitu," sindir Dahlia lagi. Bisa-bisanya dia ngejek depan temen-temennya dengan puas. Awas aja kalau lagi sendiri, beraninya kalau sama squadnya.

Aku pergi ke toilet dibanding meilihat muka Dahlia yang semakin ngeselin. Setelah cuci muka aku ngerasa ada yang kurang, kalau nggak sikat gigi nanti ngobrolnya bau naga dong. Aku coba memanfaatkan otak untuk berpikir, siapa tahu masih ada asa untuk menghasilkan ide cerdas.

"Iya aku kan punya ini." Dengan anehnya gue ngomong sendiri setelah menemukan masker di saku celana. Tapi bentar, ini mah buff yang  dipake kalau naik motor bukan masker. Tapi lumayan kan menahan bau naga, akhirnya memutuskan pake aja dengan percaya diri berjalan ke luar.

"Mau ke mana?" tanya Dahlia melihat ku berjalan ke arah pintu.

"Mau beli kopi," jawab ku yang sudah memegangi pegangan pintu.

"Kamu masih inget kan temen aku?"

"Kalau teteh yang itu mah inget," jawab ku mengada-ngada menujuk salah satu temannya. Aku masih ingat waktu diajak Dahlia ke rumahnya, tapi lupa lagi siapa namanya.

"Siapa?" tanya Dahlia.

"Teh Juminten kan?" jawab ku ngasal membuat mereka tertawa.

"Ngarang! Ini namanya Nia, Ini Ramadani." Kemudian Dahlia mengenalkan kedua temannya.

"Oh iya, salam kenal. Saya Dimas."

"Nenu! Masih aja Dimas!" semprot Dahlia. Kenapa sih nggak boleh pake nama Dimas, kan keren gitu namanya.

"Iya Maaf."

"Kenapa mulutnya ditutup?"

"Biar aman aja, ini kan rumah sakit."

"Pake masker jangan pake gituan, emang mau naik motor."

"Ya udah nanti sekalian beli di depan."

"Hemmm."

Seperti biasa Dahlia menjawab dengan gumaman suara Limbad, aku pun pamit untuk pergi ke depan beli sikat gigi agar senyumku terlihat indah dan mulutku tak bau naga lagi.

******

Setelah dirasa cukup, aku kembali ke ruangan. Entah temannya masih ada di sana atau sudah pulang, tapi sebelum sampai ke ruangan. Aku melihat si kribo keluar dari ruangan Dahlia. Habis ngapain cowok brengsek itu, dengus ku.

Tahu dari mana dia kalau Dahlia dirawat? Pasti dari temennya Dahlia sih, tapi kenapa dia harus ke sini? Udah nggak ada ahlak masih aja nggak tahu malu.

"Eh ketemu lu lagi, gimana rasanya kemarin?" tanya kribo dengan wajah tengilnya menatap ku dengan begitu sinis.

"Biasa aja sih, kayak dipukul anak ingusan," jawab ku sok kuat. Padahal mah itu muka sampe bengkak! Nggak ada otak dasar!

"Emm mau gue tambah?"

"Gue nggak lagi makan nasi padang, nggak usah nawarin nambah," jawab ku.

Dia tersenyum miring. "Lucu? Gue harus ketawa?"

"Nggak usah ketawa, gue bukan pelawak. Tapi lu bisa nggak jangan gangguin Dahlial lagi."

"Lu siapa ngatur-ngatur gue!"

"Gue nggak ngatur hidup lu. Mau lu naik haji kek, mau lu dimakan singa kek, serah. Asal jangan sentuh Dahlia!" Gue memperingatkan.

"Idih, ada yang mau jadi jagoan nih."

"Bukan ayam, nggak minat jadi bang jago."

"Ya elah, gak usah baper, bro. Dia cuman sayang sama gue," jawabnya dengan tengil.

"Hah? Lu pikir dia sampai dirawat di sini karena siapa? Ya karena cowok kayak lu bego!"

"Kenapa jadi nyalahin gue?"

"Masih nanya? Pake otak kalau hidup tuh, seenaknya banget lu perlakuin orang."

"Jangan sotoy deh, lu nggak tahu apa-apa!"

"Sotoy? Hahah apa yang gue nggak tahu soal lu? Selingkuh berkali-kali? Ngemis-ngemis minta maaf biar balikan? Atau playing victim lu bilang Dahlia nggak ada waktu akhirnya lu selingkuh?"

"Bacot ya lu!"

"Gue peringatin lu sekali lagi. Selama di rumah sakit gue yang jaga Dahlia. Dan gue nggak akan ngizinin lu nemuin dia lagi!" Aku mendorong badannya untuk menjauh.

"Lu siapa sih? Ngatur banget masalah Dahlia. Mau jadi pahlawan?"

"Gue nggak minat masuk Marvel Universe buat jadi pahlawan super. Tapi senggaknya gue gak akan jadi pecundang kayak lu!"

Kribo kembali menyerang dengan pukulan keras menghujam wajah. Bangke! Dikira samsak main dipukul gitu aja.

"Haha biasa pecundang kalau kalah debat ya cuman bisa pake urat, bukan pake otak." Dengan cool menngusap wajah seolah-olah tidak terasa apa-apa. Terkadang pura-pura kuat memang perlu agar tidak diremehkan. Jangan lemah Nenu, bisa!

Dia kembali mengangkat tangannya untuk melanjutkan memukul ku sebelum dari belakang sekuriti yang tengah patroli menahannya.

"Ada apa ini?"

Kami berdua hanya saling tatap, dengan napas yang menderu.

"Sudah-sudah ini area rumah sakit jangan sampai bikin keributan."

"Tolong bawa dia keluar aja, Pak. dari tadi saya ngomong nggak didengerin, malah ditampol."

"Sudah, Mas. Bisa ikut saya ke luar." Pak sekuriti memaksa kribo untuk pergi. Dengan wajah kesal dia menatap ku.

"Saya bisa sendiri, nggak usah dipegang kayak penjahat," katanya melepaskan tangan sekuriti yang akan membawanya pergi.

"Pintu ke luarnya sebelah sana," jawab ku menunjukan pintu exit.

"Awas lu, di luar lu habis!" ancam dia.

"Iya gue mah emang laku, makanya cepet habis."

~NANTI DILANJUT~

Terima kasih sudah membaca sampai sini.

Terima kasih juga yang senang hati memberi tahu typo, dan komen serta vote. Lopdet lah pokonamah.

Mari kita bertemu di next part ... see u ~ Mauul

Belum Ada Judul (New Version)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin