Arash masuk ke ruang rawat tanpa aba-aba. Ia mendekati sang kakak yang masih membuka mata, tapi sebenarnya hampir hilang kesadarannya karena efek obat bius. Arash menggigit bibir, menahan isak yang bisa saja terdengar.

"Arash kah?" lirih Ryo tanpa menoleh. Arash membulatkan mata, terkejut karena Ryo bisa menebak setepat itu. Arash menyembunyikan kesedihannya dengan mengulas senyum selebar mungkin, meski ia tahu sang kakak mungkin tak benar-benar bisa melihatnya. Ia duduk di samping Ryo, meraih tangan sang kakak. Ia mengusap lembut punggung tangan Ryo. "Kakak, aku di sini." Meski samar, Arash bisa melihat senyum tipis Ryo. Hatinya tersentuh saat merasakan sambutan hangat sang kakak hanya dari raut wajah.

"Pertandingannya ... selesai? Menang?" tanya Ryo.

Arash mengangguk, mempertahankan senyumnya. "Aku berhasil, Kak. Aku berhasil membawakanmu medali emas, Kak." Tukas Arash dengan nada yang bersemangat, sembari mengeluarkan medali dari saku celananya. Ia menyelipkan medali itu ke tangan Ryo, agar sang kakak bisa merasakan benda yang diperjuangkan dengan penuh peluh dan latihan keras.

Senyum Ryo semakin tercetak jelas. "Bagus sekali. Jadi kebanggaan klub dan sekolah." Puji Ryo yang berusaha menata kalimatnya, meski suaranya semakin samar.

"Apa aku sudah bisa jadi kebanggaan Kakak juga?"

Ryo memejamkan matanya sejenak. Kepalanya terasa semakin pusing. Pandangannya semakin menggelap. Namun ia masih berusaha untuk tersadar agar bisa memberikan jawaban dari pertanyaan sang adik. "Arash adalah yang terbaik, untuk Ryo." Kalimat itu menjadi penutup karena setelahnya mata Ryo terpejam. Arash mengeratkan genggamannya pada tangan sang kakak. Ia menunduk, menempelkan punggung tangan Ryo ke dahinya. Arash tak bisa lagi menahan isak. Ia menumpahkan tangisnya setelah tahu bahwa sang kakak telah terlelap. "Kak, terima kasih. Terima kasih sudah menerima Arash."

***

Ryo berhasil melewati masa-masa kritisnya dan kembali ke rumah setelah sesi kemoterapi yang ia jalani selama beberapa minggu di rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. "Aura rumah sakit itu tidak menyenangkan. Aku ingin pulang saja. Menikmati sereal yang disiapkan Nenek sambil menonton televisi." Pintanya saat dokter mengatakan keadaan Ryo sudah lebih baik dan diberikan pilihan untuk tinggal di rumah sakit atau pulang ke rumah.

"Ryo, mau ke kamar?" tanya sang nenek saat berjalan melewati ruang tengah. Menangkap sang cucu yang tertunduk-tunduk menahan kantuk.

"Tidak kok, Nek. Aku tidak mengantuk kok. Programnya membosankan, jadi membuatku tak berminat menontonnya. Hehe." Sahur Ryo sambil terkekeh. Kemudian, ia beranjak dari sofa. Berpindah ke teras untuk duduk sambil menikmati tanaman sang nenek yang mulai berbunga. Tak lupa, ia menutupi kakinya dengan selimut dan menghangatkan leher dengan syal yang ia lilitkan sebelum ke luar rumah. Matanya menerawang ke seluruh penjuru halaman rumah yang terlihat asri. Suara burung-burung yang berterbangan menjadi pengiring sorenya yang santai. Ketenangan Ryo tak berlangsung lama saat ia menangkap sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari gerbang rumahnya. Saat melihat sosok yang keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya, Ryo mengembuskan napas lelah. Ia hendak berdiri, tapi sosok itu berlari lebih cepat hingga dapat mencegah Ryo untuk masuk ke rumah.

"Ryo, tunggu dulu."

Ryo berbalik, menampilkan wajah sinisnya seperti biasa, setiap kali bertemu dengan perempuan yang telah menyakiti ayahnya. "Bibi mencari siapa? Kalau mencari Arash, maaf. Dia tidak ada di sini." Ujar Ryo, bahkan sebelum Neida melontarkan pertanyaan. Ryo berhasil membuat Neida tersenyum kikuk.

"Ti-tidak. Bukan mencari Arash. Ibu ... Ah, maaf." Neida terbata saat bicara dengan Ryo. Kebingungan menempatkan posisinya sendiri di depan putranya yang sudah ia abaikan bertahun-tahun. Ryo berdecih, lalu tersenyum pahit saat menyadari bagaimana Neida menganggap dirinya berhak memanggil diri sendiri sebagai ibu untuk Ryo. Ryo bukannya ingin terus membenci, tapi melupakan semua sikap Neida selama ini adalah hal yang sulit, dan setiap kali mengingatnya, Ryo akan bersikap tak bersahabat pada Neida. Ia tak bermaksud mengusir ibunya, tapi bukan berarti ia ingin ibunya berada di hadapannya untuk waktu yang lama. Ryo terlalu lelah untuk menahan emosinya yang bercampur aduk. Ia hanya ingin tenang, tapi tak sanggup untuk meminta Neida pergi.

SourireOnde histórias criam vida. Descubra agora