Danton, My Destiny 12 | Tangisan Pertama

Start from the beginning
                                    

"Kamu itu Persit. Saya senior kamu, berani sekali kamu seperti ini."

Mengembuskan napas pelan, "Maaf Mba, katakan salah saya dimana? Seharusnya saya—"

"Kesalahan kamu itu menikah dengan Yudha. Seharusnya yang ada di posisi kamu itu adik saya. Kamu hanya Guru TK tidak pantas bersanding dengan Yudha. Yudha harusnya bersama adik saya yang seorang Dokter. Mereka serasi." Tidak, apa ini? "Ah, atau jangan-jangan kamu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan adik saya dengan Yudha. Kamu tidak pantas jadi seorang Persit. Pasti keluarga kamu bukan orang terpandang."

Cukup, air mataku sudah tidak dapat ku tahan. Haruskah ia merendahkan profesiku. Aku tahu Dokter tak seberapa dengan Guru TK tapi apakah ia tak tahu betapa sulitnya juga saat kuliah dan menangani anak-anak yang masih labil.

"Gara-gara kamu adik saya kehilangan cintanya." Tidak. Aku tidak tahu masalah ini. "Entah apa yang membuat Yudha berpaling dari adik saya."

Serius, hatiku sakit. Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak kuat. Aku ingin menyangkal tapi tak bisa. Lidahku kelu. Air mataku semakin luruh. Akhirnya tanpa sepatah kata pun aku meninggalkan kediamannya. Tak peduli dengan sopan santun, hatiku sudah sakit di rendahkan olehnya.

Tak ku hiraukan orang-orang yang melihatku dengan air mata di pipiku ini. Tujuanku sekarang hanya rumah, menangis di kamar. Beruntung rumah dalam keadaan sepi, Danton juga sepertinya masih di Kantor terlihat tidak ada motornya di garasi.

***

Yudha Aryasatya POV

Rayya Rizqiana gadis yang pertama kali ku lihat saat PRASPA angkatanku. Gadis yang saat itu datang menghadiri Pelantikan sang Kakak. Gadis yang riangnya memeluk sang Kakak. Raffa Rizki Abrianto merupakan sahabat semasa pendidikanku hingga sekarang kami yang ditempatkan dalam Batalyon yang sama. Garis besarnya aku tahu bahwa Raffa adalah anak dari seorang perwira tinggi TNI-AD.

Ku pandangi wajah manis istriku yang sengaja ku pasang sebagai layar utama ponselku. Terkadang aku berpikir masih tak menyangka jika aku bisa menjadi suaminya. Tadi siang ia mengabariku tak dapat pulang ke rumah karena mempunyai urusan di rumah Bu Wakil. Ingin ku bertanya apa yang di kerjakannya tapi ku urungkan. Sepertinya ia sangat sibuk. Belakangan ini pula ku perhatikan ia sering kelelahan.

Lamunanku teralihkan pada pintu ruanganku yang terbuka secara kasar. Hampir saja aku memarahi orang tersebut karena tak mengetuk. Kakak iparku lah pelakunya. Selama bersahabat dengannya aku tahu jika Raffa seperti ini ia sedang berada di puncak emosi.

Ia menggebrak mejaku. Entah kali ini ada masalah apa. Napasnya tersengal-sengal hingga ia duduk dan mengusap wajahnya kasar. Ku berikan segelas air mineral untuk menenangkan.

"Lo berantem sama Ayya?"

Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba Raffa bertanya hal itu. Aku tak bisa membalas dengan emosi tinggi juga. Sebisa mungkin, aku menjawab tenang.

"Tidak."

Mata Raffa menyipit tajam. Sepanjang bersahabat dengannya baru kali ini aku melihat tatapan api berkobar di matanya.

"Serius Yudha!"

"Tidak Raffa. Gue sama Rayya tidak berantem—"

"Terus kenapa adik gue nangis pulang ke rumah hah!?" Tunggu, Rayya menangis. Aku tidak tahu. Apa ini, Rayya tak memberitahuku juga.

Ku ambil kunci motorku dan meninggalkan Raffa di ruanganku. Percuma jika aku bertanya banyak padanya. Sudah kupastikan Raffa tidak tahu penyebabnya. Kulajukan motorku dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sesampainya di rumah, keadaan sangat sepi. Pintu depan tak terkunci. Kamar, Ya pasti istriku berada di sana. Sial, sepertinya Rayya mengunci pintunya dari dalam. Tak perlu berteriak seperti kebanyakan, aku langsung mengambil ancang-ancang untuk mendobraknya. Tiga kali dobrakan akhirnya pintu terbuka. Di sana, di pojok dekat ranjang wanita yang kusayangi duduk memeluk kakinya dengan wajah yang di sembunyikan.

Ku angkat tubuhnya dan ku dudukkan ia di ranjang. Siapa yang membuat istriku menangis? Sungguh aku tak terima. Ia hampir mengalihkan pandangannya sebelum ku tangkup wajahnya dan ku usap pipinya yang basah.

"Cerita sama Mas siapa yang buat Rayya nangis?"

Rayya hanya menggeleng. Jika itu karena petir hujan lebat aku bisa menenangkan nangisnya. Tapi tidak dengan ini. Aku tidak tahu apa-apa. Aku seperti merasa tak becus menjaganya jika ia seperti ini. Ku peluk ia dan ku usap punggungnya menyalurkan ketenangan dalam tubuhnya serta memberikan kecup pada pucuk kepalanya. Tak peduli jika seragamku basah akibat tangisannya. Aku terluka melihat istriku seperti ini.

Setelah ku rasa ia tak terisak menangis, ku lepaskan pelukanku. Aku ikut duduk disampingnya dan menatapnya. "Kita suami istri, kita bersahabat. Kamu menangis Mas juga merasakan sakitnya."

"Maaf," ujarnya.

Bukan itu yang ingin ku dengar, tapi sebuah penjelasan apa yang penyebab ia menangis seperti itu. Jika karena hormon PMS istri cantikku ini tidak akan sampai menangis. Ia pasti hanya badmood dan banyak memakan makanan manis. Aku menebak pasti ini karena sebuah perkataan.

"Cuci muka sana habis itu kita makan bersama."

Ia mengangguk, "Memang Mas tidak datang ke acara yang diadakan di rumah Wadan?" Suaranya parau. Aku semakin penasaran apa yang membuatnya menangis. Sekarang tugasku hanya menenangkan dan mencoba bertanya lagi. Tak peduli dengan acara tersebut. Istriku lebih penting.

"Hm, lebih enak dirumah sama kamu makan indomie semangkuk berdua. Bagaimana?" tawarku.

Rayya menampilkan senyum manisnya. Ya Tuhan... Aku tak menyesali menikahi sosoknya. Perjuanganku untuk berdoa kepada-NYA ternyata membuahkan hasil. Engkau mengizinkanku untuk mempersunting dirinya.

Saat ini kami berdua telah berada di dapur, Rayya hendak mengambil panci tapi ku cegah. Aku mengusulkan diri yang memasak mi rebus tersebut. Hanya mie rebus saja pikirku tak merepotkan. Ia tanpa berbicara banyak pun menurut untuk menunggu di meja makan. Selama menunggu mi yang direbus matang sempurna, aku mendekatinya dan memeluknya. Tak apa, jika sekarang istriku tak ingin bercerita setidaknya aku bisa menjadi sandarannya.

"Mas abis makan beli es krim yuk," ajaknya. Dahiku sedikit menampilkan lipatan halus. Menerka apakah istri cantikku sedang datang bulan sehingga ia mengajakku untuk pergi membeli makanan manis tersebut.

"Kamu lagi dateng matahari?" Istriku hanya mengangguk dalam pelukanku. "Oke. Tapi kita makan dulu baru pergi membeli es krim."

[]

So, aku hanya mau menyampaikan dari apa yang ku tulis saat ini. Semua pekerjaan itu sama, tidak ada bedanya. Dokter, Guru, Petani, Pelaut, TNI-POLRI dan lainnya mempunyai tugas mereka masing-masing.

Semua pekerjaan yang halal adalah tugas yang mulia. Kita tidak sepatutnya merendahkan setiap pekerjaan. Semua pekerjaan mengajarkan kita berbagai kehidupan. Dimata tuhan kita sama semua, tidak dibeda-bedakan berdasarkan kasta, derajat atau sejenisnya.

Semoga dapat di pahami pesan yang aku sampaikan:)

Tetap berbuat baik dan saling menolong tanpa membedakan apapun:)

Oya, buat seluruhnya Selamat Hari Guru Nasional untuk semua guru serta orang-orang yang tanpa sadar telah mengajarkan tentang kehidupan.

Terutama...

"Experience is the best teacher"

Salam, Blue Rish

You can find me on instagram rishlara and don't forget to follow instagram yudha.rayya . Jangan lupa juga tinggalin jejak vote atau komen kalian. Thank you.

November 25, 2021

Danton, My Destiny [Terbit di Google Playbooks]Where stories live. Discover now