Dua Puluh - Cencaru Makan Pedang

Start from the beginning
                                    

"Aku dulu senang kok, Kak. Bayangkan saja seperti main rumah-rumahan. Lagipula dulu untuk urusan mencuci dan menyeterika pakaian, Bapak pakai jasa laundry kiloan. Jadi aku ngggak terlalu capek."

Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Tidak tahu kata apa yang harus diucapkan untuk gadis mungil di hadapanku. Sejak kedatanganku tadi, Ai juga tidak pernah berkata tajam. Dia seolah memperlihatkan Aileen yang berbeda dengan biasanya.

"Kak, masalah waktu itu ... aku minta maaf." Tiba-tiba saja Ai bicara. Dia menunduk dengan kedua tangan memegang cangkir teh.

"Aku juga ke sini untuk minta maaf, Ai. Mungkin sikapku yang terlalu taat pada peraturan membuat kalian sesak." Kuletakkan cangkir teh kami berdua supaya bisa menggenggam jemari Ai.

"Tapi itu bukan berarti aku bisa mengucapkan kata-kata kasar pada Kakak," gumam Ai.

"Yah, harus kuakui aku agak bingung menghadapi kalian. Baru pertama kali ini aku membimbing anak magang. Kalian pintar, punya banyak ide dan kebebasan. Sementara di sisi lain, aku harus menjaga agar peraturan dijalankan dengan baik. Bayangkan jika operasional kantor berjalan tanpa adanya aturan, potensi hal yang tidak kita inginkan bisa terjadi." Aku terdiam sejenak. Menyadari kalau Ai mungkin tidak suka diceramahi.

"Maaf, aku tidak bermaksud ceramah. Hanya saja, mungkin kita bisa saling mencoba memahami bagaimana karakter kita masing-masing. Terus terang, Ela bilang kalau aku memiliki kelemahan di generations gap. Seolah-olah aku lebih tua ratusan tahun dari kalian," keluhku sambil tertawa kecil.

Di luar dugaan Ai tertawa dengan suaranya yang jernih. Dia jarang sekali tertawa lepas. Biasanya Ai akan menjaga jarak dengan tersenyum atau tertawa kecil.

"Sebentar, Ai. Coba ulangi tawa yang tadi, biar aku rekam," ujarku bercanda. Ai kembali tertawa dan aku takjub.

Orang bilang tawa bisa mengubah dunia. Saat ini aku ingin berterima kasih pada orang yang mengucapkan hal itu. Suara tawa Ai mengubah sikap kami berdua. Setidaknya kami jadi lebih mudah memahami satu sama lain. Kami berdua tersenyum, saling memaafkan tanpa kata-kata lebih lanjut.

"Kakak serius mau main di rumahku hari ini?" tanya Ai ketika kunyatakan niat untuk main di rumahnya.

"Kecuali kamu nggak mau diganggu," ujarku cepat. Ai menggeleng lalu mengajakku ke dapur.

"Aku senang ada teman. Biasanya akhir pekan gini, aku lebih sering di dapur buat bikin kue. Tapi Bapak dan kakakku jarang makan kuenya." Ai mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat kue bolu.

"Terus ngapain kamu bikin kalau nggak dimakan sama mereka?" tanyaku ikut sibuk menyusun peralatan masak.

"Aku kirim untuk tetangga. Dulu waktu aku kecil, mereka sering menjagaku dan kakak saat Bapak kerja. Setidaknya kue adalah bentuk ucapan terima kasihku."

Ini adalah sisi lain dari Ai. Wajahnya melembut dan nada suaranya tidak sarkastik seperti biasanya. Ai banyak bercerita tentang masa kecilnya. Dia terlihat ceria dan berbeda dengan Ai yang di kantor.

"Kamu beda banget ya, Ai," kataku sambil menakar tepung lalu mengayaknya.

"Maksudnya?" Ai menimbang gula dan memisahkannya.

"Di kantor kamu lebih banyak diam dan sekalinya ngomong, setajam silet. Di rumah kamu lebih santai dan lembut."

Gadis dengan pipi yang selalu merona ini tertawa. Dia bilang kalau rumah adalah tempatnya merasa aman. Aku paham ucapannya. Gadis ini pasti mengalami masa kecil yang sulit. Ditinggalkan ibu entah kemana dan harus mengurus rumah seorang diri. Dia sulit untuk bersosialisasi. Mungkin karena tidak ada seorang ibu di sisinya.

Berada di dapur bersama Ai juga membuatku memahami kalau anak ini sangat taat pada resep. Dia benar-benar membuat bolu dengan mengikuti resep tanpa ada kesalahan. Padahal pasti dia sudah ratusan kali membuat bolu. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya ide yang ajaib-ajaib memang keluar dari otak Mamet.

"Aku berpikir, kenapa ya Mamet senang mencetuskan ide ajaib?" tanyaku pelan sambil menuangkan adonan kue.

Ai tertawa mendengar pertanyaanku.

"Kakak harus tanya sama dia. Sekalian bedah otak saja, Kak. Aku juga mau tahu dia dapat inspirasi dari mana."

Kami tertawa berdua. Sebelum berangkat tadi pagi, aku merasa hari ini akan berat. Namun ternyata tidak juga. Semua berjalan dengan lancar.

"Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini, Ai," ucapku saat menunggu bolu matang. Kami duduk di meja makan setelah membereskan dapur yang seperti ditimpa angin puting beliung.

"Aku yang keberatan kalau sering-sering, Kak."

Meskipun ucapan itu terdengar tajam, aku hanya tertawa. Merasa lebih memahami gadis berambut cokelat di hadapanku yang menatap dengan mata jernihnya. Aku masih tinggal di rumah Ai selama beberapa jam ke depan, memotong-motong kue bolu dan membantu mengantarkannya ke para tetangga.

Aku juga sempat bertemu dengan Bapak dan kakak Ai. Mereka mirip sekali satu sama lain. Nyaris seperti gambar serupa tetapi tidak sama yang sering aku temui saat kecil dulu di majalah Bobo.

"Terima kasih ya, Ai. Hari ini menyenangkan sekali." Menjelang pukul empat sore, aku memutuskan untuk pamit.

"Ya, aku juga senang hari ini, Kak." Ai memberikan pelukan yang membuatku terkejut.

"Omong-omong, Kak Cassie. Kakak nggak tertarik sama Kak Baron? Waktu kita bertengkar itu, Kak Baron khawatir banget loh, Kak. Mungkin saja, siapa tahu Kak Baron benar-benar punya perasaan sama kakak?" Tiba-tiba saja Ai mengucapkan hal itu ketika taksi online yang kupesan datang.

Tanpa menunggu reaksi, Ai tersenyum lalu mendorongku masuk ke dalam mobil. Dia menutup pintu dan meminta supir taksi online untuk jalan. Sementara aku termangu, terlalu terkejut untuk berpikir atau membalas ucapannya. Aku hanya sanggup melambaikan tangan dengan kaku. Beberapa menit setelah meninggalkan rumah Ai, baru kusadari lupa mengucapkan terima kasih.

***

Catatan Peribahasa:

Cencaru makan pedang = Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya baik.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now