Enam - Bagai Orang Kena Miang

10.5K 1.5K 57
                                    

"Pembimbing Anak Magang juga manusia!" – Pembimbing Anak Magang yang hatinya tidak karuan.

"Mereka patut dikirim ke Azkaban!" omelku sambil menekan pisau sekuat tenaga sampai Ela menatap ngeri.

"Ya, nggak segitunya kali, Cass. Lagian pancake lo kan nggak bersalah." Ela memejamkan mata kala pisauku beradu dengan piring dan menimbulkan decit ngilu. Aku lupa dia paling nggak suka sama bunyi seperti itu.

"Sorry, La. Tapi mereka itu terus-terusan ngerjain gue dari kemarin. Kopi asin sampai kodok-kodokan karet. Dih! Gue bingung itu sebenernya mereka lahir tahun berapa, sih? Kaya anak-anak banget."

Aku jadi teringat seberapa keras jeritanku tadi saat Mamet melempar kodok karet begitu saja ke atas keyboard laptopku. Mamet sendiri sampai terlonjak kaget. Aku benci kodok! Dulu waktu kecil, pernah ada kodok yang melompat ke wajahku. Ingatan akan badan kodok yang dingin dan kenyal seperti karet menimpa wajah saat kecil dulu, membuatku bergidik ngeri.

"Kan, emang anak-anak," jawab Ela pelan sambil menyuap fettucini.

Kami sedang ada di Pancious, Senayan City. Date untuk merayakan kepulangan Ela setelah audit berkepanjangan di luar kota sambil menikmati keramaian di mana orang-orang merayakan akhir pekan lebih awal. Setidaknya aku bisa sedikit rileks setelah beberapa hari ini Mamet terus mengerjaiku tanpa ampun. Herannya, anak itu kalau dimarahin hanya cengengesan dan malah membuatku lebih naik darah lagi. Jadi kudiamkan saja dia hari ini.

"Perasaan gue pas kuliah nggak gitu-gitu amat, deh," gerutuku sambil mengingat-ingat, apa yang pernah kulakukan saat berusia 21 tahun.

"Generasi lo sama mereka kan beda, Cass."

Aku mendengkus mendengar ucapan Ela. Belakangan ini dia selalu mengeluarkan kata pamungkas yaitu generasi yang berbeda. Seakan-akan aku dan anak-anak bandel itu berbeda 100 tahun saja.

"Jadi apa saranmu, Karl Mannheim?"

Ela tertawa mendengarku menyebut Karl Mannheim, sosiolog yang mencatat perbedaan perilaku antar generasi. Dia mengambil tisu dan menyeka mulutnya. Sungguh, sikap Ela di meja makan persis seperti puteri-puteri bangsawan yang bermartabat. Dia bahkan tidak pernah bicara dengan mulut berisi makanan.

"Untuk menaklukkan mereka, lo harus masuk ke dalam permainan mereka," jawabnya yakin.

"Hah? Jadi gue harus rela dikerjain sepanjang hari dan mereka bisa terus menunjukkan kadar ketidaksopanan pada atasan. Oh ya, gue masih atasan mereka dan mereka bisa bebas ngerjain gue, gitu?" Aku sampai mengangkat telunjuk untuk menegaskan pada Ela itu ide yang sangat berbahaya. Mana kutahu besok Mamet akan mengerjaiku dengan seember air atau hal-hal aneh lainnya.

"Nggak gitu juga. Lo harus negur mereka dengan tegas juga, Cass."

"Nyerah gue yang itu. Gue udah tegas sampai jewer tuh telinga anak bandel, dia malah ketawa-ketawa aja." Sekarang aku sudah nyaris putus asa.

Ela terdiam sejenak. Dia mengunyah makanannya sambil berpikir-pikir.

"Lo udah coba pendekatan dari hati ke hati? Kadang cara itu lebih efektif ketimbang langsung meledak di tempat, Cass."

Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku memang belum pernah melakukan hal itu. Sambil mengangguk-angguk aku berkata akan mencoba saran Ela kalau si anak bandel itu berulah lagi.

"Ngomong-ngomong hubungan lo sama Baron gimana? Kayanya makin dekat, ya?"

Kali ini Ela menyenggol topik sensitif kedua sepanjang minggu ini. Menyebut kata Baron membuatku merinding. Bukan karena suka tapi karena kesal.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now