Part 10 : Insiden di Lapangan Basket

24 3 0
                                    

Setelah mata kuliah terakhir usai, Nadia segera bergegas menuju tempat parkir di mana motor matic kesayangannya berada. Hari itu, ia memang meminta agar kakaknya--Naufan, tak perlu mengantar jemput dirinya. Sebab, ada janji yang harus ia penuhi. Karenanya, ia memilih untuk menuju lokasi langsung dari kampusnya, tanpa pulang terlebih dahulu.

Dengan tatapan waspada, Nadia mengedarkan pandangannya ke sekitar area parkir, sebelum akhirnya menunggangi kuda besinya itu. Ia menutur syukur sembari mengembuskan nafas lega sebab sudah beberapa hari terakhir ini sosok pengganggu itu tak muncul. Sempat beberapa kali berpapasan, namun sosok itu tak lagi menampakkan gelagat hendak mengganggu. Menyerahkah ia? Ya, semoga saja.

Nadia segera melajukan kendaraannya meninggalkan kawasan kampus. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk bisa sampai di tempat tujuan, bisa lebih cepat sebenarnya jika ia sedikit ngebut. Namun, ia memilih untuk berkendara dengan kecepatan sedang. Karenanya, ia alokasikan waktu yang lebih banyak agar bisa tiba di tujuan sesuai waktu yang telah disepakati.

Janji adalah hutang yang harus ditunaikan. Menepati janji dan akad-akad yang telah dibuat adalah salah satu kewajiban insan yang beriman, sesuai firman-Nya dalam Surah Al-Maidah ayat 1: "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji ...."

Waktu masih menujukkan pukul 14.45. Laju kendaraan masih terbilang lancar. Biasanya kemacetan mulai terjadi ba'da ashar hingga menjelang petang.

Sampailah Nadia di sebuah jembatan. Sejenak ia pelankan laju kendaraannya, demi memastikan kembali penglihatannya. Akhirnya, ia putuskan untuk sejenak menepi dengan tatapan terus tertuju ke arah bawah jembatan. Tampaklah di sana sesosok pemuda yang ia kenal, tengah membagikan makan siang kepada para anak jalanan seraya bercengkerama dengan mereka. Tak cukup sampai di situ, biasanya selepas makan, pemuda itu akan mengimami anak-anak jalanan itu untuk shalat Ashar berjama'ah di sebuah bangunan kumuh tanpa dinding yang saat ini menjadi tempat mereka menikmati makan siang. Dilanjut dengan agenda mengaji bersama, di mana pemuda tersebutlah yang mengajarkan mereka baca tulis Al-Qur'an. Demikianlah rutinitas yang telah tercipta sejak dua tahun lalu di bawah jembatan tersebut.

Melihat pemandangan tersebut, seketika Nadia teringat suatu peristiwa dua tahun lalu di tempat itu. Di mana seorang gadis berparas cleopatra menatap pemandangan yang sama dengan penuh kekaguman. Gadis itu tampak gelagapan ketika Nadia memegokinya tengah dalam kondisi terkesima. Ia yang saat itu belum berhijrah, bahkan belum berhijab, terus saja menggoda gadis tersebut hingga memerah pipinya.

"Ngelihat dia, gue kok jadi kangen lo, ya, Ra," lirih Nadia dengan pipi bawah, namun seulas senyuman tersungging di bibirnya.
"Sungguh, gue adalah saksi bahwa lo berdua telah mampu menjaga fitrah itu tetap pada koridor fitrahnya. Semoga kelak dipersatukan di kehidupan yang abadi," ucapnya lagi yang kemudian kembali melajukan motornya.

Tepat pukul 15.10, Nadia tiba di parkiran SMU Pertiwi. Setelah memarkirkan motornya, ia pun segera beranjak menuju lokasi yang telah disepakati. Ya, hari itu ia ada janji bertemu dengan Ulfa dan Vania di masjid sekolah untuk berdiskusi dan ngobrol-ngobrol santai terkait Islam atau yang mereka sebut dengan istilah NgOPI, Ngobrol Perkara Islam.

Nadia memacu langkahnya menuju masjid, khawatir kedua adik kelas yang memang meminta untuk bertemu dengannya itu telah menunggu. Untuk menuju lokasi, ia harus melewati lapangan basket. Ia berjalan di tepian lapangan tersebut, tanpa memperhatikan kegiatan yang sedang berlangsung di tengah lapangan, di mana beberapa siswa tengah berlatih basket dengan pelatih mereka.

Meski Nadia adalah mantan atlet basket semasa SMA dan kegiatan basket selalu menarik perhatiannya, namun kali ini apa yang sedang terjadi di tengah lapangan tak cukup menarik perhatiannya, sehingga ia tak menyadari siapa saja yang tengah terlibat dalam latihan basket saat itu. Ia terus memacu langkahnya, yang ada dalam benaknya saat ini adalah segera tiba di masjid sekolah dan bisa sejenak melepas lelah sambil menanti waktu Ashar tiba.

Bugh!

"Aww!" ringis Nadia. Tiba-tiba saja ia merasakan sebuah benda tumpul menghantam kepalanya dengan agak keras, hingga menyebabkannya terjatuh. Kini ia dalam kondisi terduduk di tepi lapangan seraya memegangi kepalanya yang seketika terasa pening.

"Hey, Bro! Hati-hati, dong!" seru seseoang, disusul suara derap langkah mendekat.

"Lo baik-baik aja, kan?"

Nadia mengerjapkan matanya, berusaha menetralkan kembali penglihatannya yang sejenak terasa berkunang-kunang. Tak hanya akibat dari hantaman bola basket di kepalanya, melainkan efek dari dirinya yang memang belum sempat makan siang.

Raut wajah khawatir Radit adalah hal pertama yang dilihat Nadia ketika pandangannya kembali normal. Ia pun berusaha bangkit dengan berpegangan pada tepian lapangan. Radit tampak salah tingkah antara hendak membantu atau membiarkan gadis itu berdiri dengan sendirinya.

"Gue nggak apa-apa, kok," ucap Nadia.

"Sorry, ya. Kita nggak sengaja," ujar Radit.

Nadia mengangguk, mengiyakan. Lantas berlalu meninggalkan area lapangan. Sekilas ia sempat melihat beberapa siswa laki-laki yang tengah berlatih basket. Juga seorang pemuda berambut gondrong yang terpaku menatap ke arah Radit juga dirinya. Entah, siapa pemuda itu. Dan Radit ... sedang apa dia di SMU Pertiwi? Oh, mungkin dipinta pihak sekolah untuk menjadi pelatih ekskul basket, sebagaimana yang pernah ditawarkan juga padanya untuk menjadi pelatih basket putri namun ia menolak. Tapi, tak heran juga jika Radit di SMU Pertiwi, toh sekolah tersebut memang milik keluarga besarnya. Demikianlah berbagai pemikiran yang berkelebat di benak Nadia, yang mengiringi langkahnya menuju masjid sekolah.

"Bro, lo hati-hati, dong. Untung dia nggak kenapa-kenapa," ujar Radit setelah menghampiri pemuda berambut gondrong yang tadi dilihat sekilas oleh Nadia.

"Lho kok gue yang disalahin?" elak pemuda tersebut yang tak lain adalah Kevin. Radit tampak mengerutkan keningnya.

"Cewek itu siapa, sih? Sampai lo bengong gitu begitu dia datang?" tanya Kevin.

"Gue? Bengong?" Radit memasang wajah polos dengan kening yang masih berkerut.

"Ya elah, nggak nyadar. Orang tadi lo tuh bengong. Makanya pas gue oper bolanya ke lo, lo nggak bisa nahan akhirnya kena ke cewek tadi," dengus Kevin kesal.

Sementara para pemuda lain yang merupakan siswa SMU Pertiwi yang tergabung dalam ekskul basket putra tampak telah kembali melakukan pemanasan yang sempat terjeda tanpa menghiraukan pelatih mereka. Ya, sebenarnya hanya Radit yang diminta untuk melatih. Kevin hanya turut serta dengan alasan suntuk di rumah.

"Heh! Lo belum jawab pertanyaan gue," tegur Kevin karena Radit malah membisu.
"Cewek itu siapa? Gebetan baru lo? Nggak kalah cantik sama pacar cantik lo dulu."

Kevin tak menyadari bahwa sosok yang sedang ia pertanyakan sebenarnya adalah seseorang yang Ia kenal. Penampilan barunya membuat Kevin tak mengenalinya.

"Hush, sembarangan! Awas lo, ya! Jangan macam-macam!" gertak Radit, terlebih ketika melihat seringai nakal sepupunya. Sementara dalam hatinya ia beristighfar karena belum benar-benar bisa konsisten menjaga pandangannya. Padahal gadis tersebut telah menutup aurat dengan sempurna, tanpa berhias yang berlebihan. Kesalahan jelas ada padanya, sebab kelalaiannya dalam menundukkan pandangan.

Berbeda hanya ketika seorang wanita justru mengumbar auratnya, maka kesalahan ada pada wanita tersebut juga yang telah membuka peluang bagi sembarangan mata untuk menikmati keindahannya. Ia berdosa ketika menjadikan dirinya santapan tatapan para lelaki, demikian pula para lelaki itu sama berdosanya karena tidak menjaga pandangan. Sungguh semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban.

"Tenang aja, selera gue tentunya bukan gadis berhijab," ujar Kevin seraya menepuk bahu Radit, lantas berlalu menuju tepi lapangan. Ia bermaksud untuk tidak ikut serta lagi dalam latihan basket dan cukup menjadi penonton.

'Syukurlah. Hijab syar'i memang menjadikan diri para wanita lebih terhormat. Terlalu berharga jika kekaguman atasnya hanya berdasarkan rupa dan semua yang tampak oleh mata,' ucap Radit dalam hatinya.

***

Muhasabah Putih Abu 2Where stories live. Discover now