Part 9: Kehidupan yang Sesungguhnya

30 4 0
                                    

"Lo beneran Kevin?"

Radit menatap heran sosok pemuda di hadapannya. Bukan lagi sosok pemuda good looking dengan tampilannya yang biasa rapi. Rambut cepaknya telah berganti potongan rambut gondrong yang terkuncir di pucuk kepalanya, memperlihatkan dua telinganya yang berhiaskan anting-anting. Ketika menoleh, tampak pula tindik di hidungnya. Kulitnya yang terbilang putih, kini tak tampak mulus. Berbagai corak tato menghiasi kedua lengannya terekspos jelas, karena tubuh kekarnya hanya terbalut celana pendek berpadu kaus tanpa lengan.

"Yeah, it's me. Kenapa?" Kevin bangkit dari posisi santainya di atas sofa mewah itu, lantas berdiri berhadapan dengan Radit.

Radit masih menatap heran ke arah kakak sepupunya itu tanpa berucap sepatah kata pun. Apa gerangan yang membuatnya berubah 180 derajat? Tak hanya dari sisi penampilan, tentu dari segi pemikirannya pun pasti telah banyak yang berubah.

Lebih dari sekadar arogan. Itulah kesan Radit atas penampilan Kevin. Sebagai mantan bad boy, tentu penampilannya dulu juga urakan. Namun seurakan dan senakal apa pun dirinya, tak pernah terbersit dalam benaknya untuk mentato maupun bertindik. Jika kini ia memahami bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang diharamkan menurut hukum syara', dulu ia tak melakukannya sebatas karena tuntutan selera. Ya, sebab memang tak suka, tak satu pun tato maupun tindik yang menghiasi tubuhnya sejak sebelum hijrah dulu.

"Gimana kabar pacar lo yang cantik itu? Hubungan kalian masih awet, kah, sampai sekarang?" ujar Kevin yang kemudian menyesap cigarette-nya dalam-dalam. Ia telah kembali duduk bersandar di atas sofa, lantas memberi isyarat pada Radit untuk duduk di sampingnya.

Radit tahu betul siapa sosok pacar cantik yang dimaksud Kevin. Seseorang yang pernah membuat keduanya saling bersaing untuk mendapatkan hatinya. Namun, akhirnya Kevin yang lebih memilih bertindak diam-diam memutuskan untuk mengalah pada adik sepupunya yang lebih berani terang-terangan mendekati gadis itu.

"Nih?" tawar Kevin seraya menyodorkan sebotol bir kepada Radit yang kini duduk di sampingnya. Tentu saja Radit menolaknya.

"Kenapa? Takut dosa?" cibir Kevin. Radit masih bergeming.

"Papa banyak cerita tentang lo. Sekarang lo udah berubah jadi anak baik, katanya," ucapnya kemudian dengan masih bernada cibiran.
"Pasti karena gadis itu. Iya, kan?"

Kevin kemudian terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu. Ia benar-benar berbeda dengan Kevin yang selama ini Radit kenal. Kesan santunnya kini sirna, justru tampat tak mampu menjaga sikap.
Jika bukan atas permintaan Omnya, Parmudya, enggan rasanya ia harus menemui sepupunya itu, meski memang ada rasa penasaran juga, kini seperti apa sosok yang dulu menjadi kebanggaan keluarga besar Pertiwi itu.

"Dia udah nggak ada dan bukan karena siapapun gue berubah," ujar Radit seketika mengehentikan kekehan Kevin.

"Lo tahu? Di LA sana banyak yang lebih cantik dari dia. Nggak nyesel gue ngalah buat lo. Mereka jauh lebih menggairahkan," ujar Kevin sembari memperlihatkan seringai nakalnya.

"Astaghfirullah ...," gumam Radit. Tak rela rasanya salah satu sosok gadis shalihah yang ia kenal dibandingkan dengan para wanita murahan. Sungguh tak layak.

"Kalau bukan karena bokap gue yang maksa gue buat balik, gue nggak bakalan mau pulang ke Indonesia. Di sana, gue menemukan kehidupan yang sebenarnya," ucap Kevin sembari mencengkeramkan sebelah tangannya pada kedua pelipisnya. Ekspresinya kini berubah seketika. Lebih tampak seperti orang yang sedang frustasi. Sungguh ekspresi yang sangat kontras dengan ekspresi sebelumnya beberapa saat lalu.

"Lo tahu, kan, gimana bokap gue? Dia nggak pernah ngasih gue pilihan, selalu keinginannya yang jadi pilihan satu-satunya buat gue ...." Kini Kevin tampak berusaha menahan mendung yang bergelayut di kedua netranya.

Radit memperhatikan setiap ekspresi sepupunya itu, yang dalam sesaat berubah-ubah secara signifikan. Radit semakin yakin kalau sepupunya itu tidak sedang baik-baik saja. Ia dalam pengaruh sesuatu yang membuat akal sehatnya rusak. Sesuatu yang bukan sekadar alkohol yang kini berada dalam genggamannya.

"Apa yang lo temukan di LA sana? Yang lo sebut kehidupan sebenarnya itu?" tanya Radit berusaha menyelami Kevin.

"Kebebasan," ujar Kevin dengan ekspresi yang kembali berubah. Kedua matanya kini tampak berbinar.

"Ketika semua keinginan bisa terpenuhi tanpa harus peduli aturan ... itulah kehidupan yang sesungguhnya," ujar Kevin lagi yang kemudian disusul dengan tawanya yang menggelegar. Lantas ia pun bangkit dari duduknya dengan masih menggenggam botol bir di tangannya.

Tawa Kevin terus terdengar seiring langkahnya menuju lantai atas, hingga akhirnya wujudnya menghilang di balik pintu kamarnya.

Sepeninggal Kevin, Radit masih tertegun di atas sofa. Menyaksikan sosok Kevin saat ini, membuatnya teringat dengan masa lalu di mana ia pun pernah menjadi pribadi yang rusak. Kini ia sadar bahwa setiap ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam hidup, tak lantas boleh dijadikan pembenaran untuk merusak diri sendiri dan sekitar.

"Vin, andai lo tahu bahwa hidup sesuai aturan-Nya adalah kehidupan terbaik yang sesungguhnya. Ya, lo hanya perlu memahami betapa luar biasanya Dia mengatur kehidupan ini," lirih Radit.

Jika awalnya Radit merasa enggan bertemu sepupunya itu, kini ia merasa bahwa Kevin memang perlu untuk diselamatkan.

***

Muhasabah Putih Abu 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang