Part 3: Bayangan Kelam Masa Silam

33 6 8
                                    

Gadis itu berjalan menyusuri koridor kampus menuju gedung fakultas psikologi. Gamis hijau army tampak anggun membalut tubuhnya yang tinggi semampai, berpadu kerudung lebar berwarna hijau muda yang membuat wajah ayunya tampak lebih bercahaya. 165 cm tingginya. Tinggi badan yang wajar bagi seorang mantan atlet basket putri.

"Nadia!" panggil seseorang membuat gadis itu spontan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah belakang. Tampak olehnya seorang gadis dengan hijab minimalis berlari-lari kecil menghampirinya.

"Mau ke kelas?" tanya gadis itu yang tak lain adalah Tasya, yang langsung diiyakan oleh Nadia.

"Bareng, ya. Dari tadi gue nyariin kelasnya nggak ketemu-ketemu. Emang luas banget nih kampus," ucap Tasya kemudian. Kebetulan memang mereka berdua mengambil jurusan yang sama.

Nadia mengangguk mengiyakan. Ia sama sekali tidak keberatan dibersamai Tasya, kawannya sejak SMA. Justru ia merasa senang karena ada teman, sehingga bisa mengurangi kekikukannya akibat pandangan para senior yang sejak tadi mengiringi langkahnya hampir di sepanjang koridor.

Ya, Nadia memang memiliki paras yang jelita khas gadis priangan. Matanya bulat menggemaskan, sungguh memesona. Bibirnya mungil, tampak imut ketika tersenyum. Ditambah lesung pipit di pipi kanannya, sungguh menambah manis senyumnya. Sejak memutuskan berhijab saat SMA, kesan tomboynya seolah sirna. Ia menjelma menjadi gadis yang anggun. Maka tak heran jika beberapa seniornya sempat mencuri-curi pandang padanya. Termasuk sepasang mata yang sejak tadi terus memandanginya dari kejauhan.

Kedua gadis berhijab dengan gaya busana yang berbeda itu terus melangkah menuju tempat tujuan. Nadia cukup hafal dengan seluk-beluk kampus itu, yang juga merupakan almamater Naufan, kakaknya. Hal yang cukup menguntungkan bagi Tasya yang sama sekali buta dengan lingkungan kampus tersebut. Pasalnya, saat jadwal observasi lingkungan kampus pada agenda ospek tempo hari, ia jatuh sakit sehingga tidak bisa mengikutinya.

"Nadia ...."

Langkah kedua gadis itu seketika tertahan. Seorang pemuda berambut stylish dengan kemeja navy seperempat lengan tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Entah dari arah mana ia datang.

"Nadia, lo masih inget, kan, sama gue?" tanya pemuda itu.

Nadia mengerutkan keningnya. Bukan karena berusaha mengingat siapa sosok pemuda yang kini berdiri di hadapannya itu, melainkan merasa heran dengan maksud pemuda itu yang tiba-tiba menghampirinya. Bukankah di antara mereka sudah tidak ada lagi hubungan? Sungguh, Nadia masih mengingat betul siapa sosok itu. Seseorang yang sebenarnya ingin sekali ia hapus dari kenangan.

"Maaf, Kak. Kami buru-buru," ucap Nadia yang kemudian menggamit lengan Tasya agar segera berlalu dari hadapan pemuda tersebut.

Pemuda itu masih terpaku di tempatnya. Netranya tak lepas dari sosok gadis berhijab syar'i dengan nuansa hijau itu yang semakin menjauh dari pandangannya.

"Gue yakin, lo masih inget sama gue. Gue juga yakin, lo masih inget dengan janji gue ... kalau gue nggak akan pernah lepasin lo. Gue nggak akan nyerah buat dapetin lo lagi," gumam pemuda itu.

Sementara tak jauh dari pemuda tersebut, sesosok pemuda lain tampak tertegun. Kedua netranya menatap tajam ke arah pemuda berkemeja navy itu.

'Reza! Gue nggak akan biarin lo deketin gadis itu! Gue akan melindunginya!' ucapnya dalam hati.

***

"Tolong! Gue mohon, berikan benda itu. Gue nggak kuat. Gue nggak tahan!" rintihnya hampir menyerupai lolongan.

Dalam posisi meringkuk di atas sebuah bangsal dalam ruangan yang sempit, tubuh kekar itu bergetar hebat menahan sakit yang menderanya. Kedua matanya memerah. Keringat dingin mengucur deras membasahi raganya yang bertelanjang dada.

Muhasabah Putih Abu 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang