Part 8 : Muhasabah

26 3 0
                                    

"Seberapa erat kau peluk pemahamanmu, hingga ia mampu memengaruhi kecenderungan-kecenderunganmu?"
-----------------------------------------------------------

Ckiiiiiiiit!

Naufan menginjak pedal rem secara mendadak. Sontak membuat Nadia terkejut seketika.

"Lo kenapa, sih, Kak? Pake rem mendadak segala?" tegur Nadia pada kakaknya.

Naufan tak menghiraukan teguran Nadia beserta ekspresi kekesalannya. Ia malah menyuruh Nadia mengikuti arah jari telunjuknya.

"Lo lihat, tuh!"

Nadia mengikuti arah jari telunjuk kakaknya. Tampaklah di seberang jalan sana, tepatnya di sebuah taman, sosok yang tak asing lagi bagi Nadia tengah duduk di kursi taman bertemankan seorang wanita. Keduanya terlihat mesra. Bahkan wanita tersebut, yang jika diperhatikan usianya sekitar 30 tahunan itu menyandarkan kepala di bahu laki-laki muda di sampingnya.

Bulir-bulir bening perlahan berguguran dari sudut netra Nadia. Seketika hatinya seakan ditusuk sembilu. Melihat adiknya menangis, Naufan pun bergegas turun dari mobil yang mereka tumpangi. Ia berjalan dengan tangan terkepal menuju dua insan yang tengah memadu kasih itu.

"Kak Naufan! Jangan, Kak!" teriak Nadia yang kemudian menyusul turun.

Sementara di seberang jalan sana, Naufan mencengkeram kerah baju laki-laki muda tersebut dan ....

BUGH!

Tinju Naufan melayang menghantam wajah laki-laki muda tersebut. Ia terhuyung. Darah segar mengucur dari hidungnya akibat kerasnya pukulan yang ia terima.

"Bang Naufan?" pemuda tersebut terkesiap kala mengetahui siapa yang telah melancarkan bogem mentah padanya.

Naufan kembali mencengkeram kerah baju pemuda tersebut dan hendak kembali menghajarnya, namun Nadia segera datang melerai.

"Sudah, Kak! Sudah, hentikan!" Nadia menahan lengan kakaknya yang kembali hendak melayang. Beruntung Naufan masih bisa dikendalikan. Ia menarik kembali pukulannya yang baru saja hendak ia lancarkan.

Pemuda tersebut tampak salah tingkah dengan kehadiran Nadia. Sementara wanita di sampingnya tampak kebingungan.

"Nad, ini nggak seperti apa yang lo lihat. Gue bisa jelasin," ucap pemuda itu yang tak lain adalah Reza, kekasih Nadia.

"Sayang, mereka siapa?" wanita di samping Reza akhirnya bersuara.

"Dia pacar gue," jawab Reza, "dan itu kakaknya.

"Apa?" wanita berambut panjang bergelombang itu terkesiap. Ia menatap tajam ke arah Reza dan Nadia secara bergantian.
"Tapi aku tunanganmu, Za!"

Nadia hendak berbalik arah, namun Reza menahannya.

"Nad, gue bisa jelasin," Reza meraih tangan Nadia sehingga mereka kini berhadapan.

"Amanda memang tunangan gue. Tapi perjodohan ini di luar keinginan gue, Nad. Lo harus percaya itu!" Reza berusaha meyakinkan Nadia yang tak sedikitpun menatap ke arahnya.

"Apa? Jadi maksud kamu melamar aku itu apa, hah?" wanita bernama Amanda itu kini menatap tajam ke arah Reza.

Reza membisu. Seperti menelan buah simalakama, posisi Reza saat itu memang serba salah. Jika ia katakan yang sesungguhnya, semua akan tahu kebusukannya. Jika ia memilih diam, Nadia akan semakin sulit untuk diyakinkan.

"Oh, aku ngerti sekarang! Kamu cuma tergiur dengan tawaran Papi aku, kan? Tak kusangka, kamu melamarku hanya karena iming-iming harta dan kedudukan yang dijanjikan Papi pada orang yang mau menikahiku," suara nyaring Amanda menggema seiring isakannya yang mulai terdengar. Sementara Reza yang terus dihujani tatapan tajam Amanda, masih diam seribu bahasa.

Muhasabah Putih Abu 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang