ARAH PANDANGAN

173 17 3
                                    

Author:
faystark_
NurulHime
Sawi_Kimchi

Katanya, Tuhan itu maha adil.

Tetapi jagat raya, bolehkah untuk kali ini Seila menyangkalnya? Karena mau sekeras apapun Seila berusaha memahaminya, gadis itu tidak pernah bisa mengerti.

Bagaimana bisa Seila mengerti bahwa Tuhan itu maha adil jika dirinya saja tidak pernah merasakan keadilan dalam hidupnya?

Seperti pagi ini contohnya. Pagi di salah satu sudut kota Jakarta itu, dengan sebuah keluarga yang menempati salah satu kawasan perumahan elit Jakarta.

"Kirana, kamu nanti pulang jam berapa?" tanya mama seraya menuangkan susu pada gelas di sisi Kirana.

"Sore kayaknya mah. Nanti ada kumpul dulu klub debat, sama ada rapat OSIS dulu," jawab sang perempuan Kirana seadanya.

"Jam berapa kira-kira? Nanti biar papa jemput."

"Sekitar jam lima-an ma."

Mama mengangguk seraya menyerukan suara 'Oh' panjang dan pelan. Wanita itu tersenyum seraya mengusap kepala Kirana. "Kalo gitu sarapan yang banyak ya, sayangnya mama. Biar energi kamu banyak!" ucap mama.

"Kalo Seila?" Kini mama mengalihkan perhatiannya pada Seila.

Seila yang semula sibuk dengan sarapannya, kini mengangkat kepalanya canggung membalas tatapan mama.

Gadis itu berdehem pelan, menegakkan tubuhnya. "Sore juga ma, ada urusan dulu di rumah temen."

"Kamu itu, maiin teruus!" ucap papa segera setelah sebelumnya hanya menjadi pendengar saja. "Liat tuh Kirana, aktif di sekolah. Nilainya juga bagus-bagus."

Seperti ini kenyataan pahit yang Seila rasakan pada kanvas kehidupannya. Seila tidak pernah menyangka, kisah pada cerita fiksi yang selalu ia baca juga terjadi pada dirinya.

Menjadi anak yang selalu kurang dan dibanding-bandingkan.

"Ssttt pa, jangan gitu," tegur mama, perempuan itu melirik pada Seila yang menunduk pura-pura fokus kembali pada sarapannya. "Jangan terlalu malem ya, pulangnya."

Seila mengangguk saja menanggapinya.

Selalu seperti ini setiap paginya, selalu ada papa yang membanding-bandingkannya dengan Kirana. Dan selalu ada mama yang amat sayang pada Kirana melebihi apapun.

Seila menghela napasnya berat. Ia melirik pada ponsel pintar miliknya di atas meja, melihat ada pesan masuk di sana.

Bintang: di depan

Seila: oke bentar

"Ma, Seila duluan ya," pamit Seila seraya beranjak dari duduknya.

"Loh? Nggak bareng sama Kirana?" tanya mama.

"Udah ada temen nungguin ma," jawabnya setelah menyalami mama dan juga papa. "Seila pamit, Ma!"

"Iya, hati-hati!"

Seruan mama itu tak Seila sahuti lagi, ia bergegas memakai sepatunya, menggunakan helm, lalu naik ke atas jok belakang motor Bintang si sahabatnya yang paling enak untuk disusahkan.

"Kebiasaan, lama banget!"

"Lo mah, kan tingkat kesabarannya juga tinggi, Nyet!" Tangan Seila bergerak, menepuk-nepuk helm yang dipakai bintang sebanyak tiga kali. "Gass, Mang!"

"Pegangan sayang...," ucapnya sebelum melajukan motor miliknya.

"Najis lo- ANJENG!!" umpat Seila spontan saat Bintang tiba-tiba saja dengan cepat menancao gas motornya. "Lo kalo mau majuin motornya kasih aba-aba dulu dong monyet!"

Bangchin Twoshoot StoryWhere stories live. Discover now