BULAN BERDARAH

58 18 28
                                    

Sejak kejadian hari itu, semakin banyak hal buruk terjadi. Sekolah awalnya yang menjadi sekolah favorit, kini menjadi sekolah penuh darah. Kami seperti diteror setiap harinya. Selalu saja ada korban jiwa. Khususnya bagi mereka yang merupakan anak tunggal.

Sampai hari ini saja sudah ada tujuh korban yang meninggal dunia karena kecelakaan tunggal dan yang anehnya adalah mereka semua—para korban—adalah anak tunggal.

Korban pertama yaitu ibu Rini yang meninggal dengan tidak wajar. Korban kedua adalah kakak kelas yang terpeleset di tangga hingga kepalanya bocor dan tidak tertolong. Dan keesokan harinya, sekolah kembali digemparkan dengan kabar meninggalnya kakak kelas yang menjabat sebagai ketua basket karena kecelakaan tunggal. Kepalanya juga bocor.

Disusul setiap harinya ada korban jiwa yang berjatuhan. Ketua OSIS dan para orang tua murid sudah meminta permohonan agar sekolah diliburkan. Mereka semua takut anak mereka kenapa-kenapa. Tapi pihak sekolah entah kenapa menolak itu. Alasannya karena sekolah harus tetap dilaksanakan. Mati itu urusan Tuhan, dan semua sudah ditakdirkan.

"Jingga, aku takut kamu kenapa-napa," ucapku penuh kekhawatiran karena mengetahui jika lelaki tampan itu merupakan anak tunggal. Bagaimana jika dia yang jadi korban selanjutnya?

"Sarah ...."

"Besok nggak usah sekolah. Aku nggak mau kamu kenapa-napa."

"Tenang, Sar," ucap Dimas memegang pundakku pelan. Kami tengah berlima saat ini. Aku, Jingga, Dimas, Nara, dan Rere yang sedang berkumpul di rumah Nara. Membicarakan kasus yang sangat membuat gelisah di sekolah kami.

"Kita semua di sini anak tunggal kecuali lo, Sar," imbuh Rere. "Kita bahkan lebih takut."

"Iya, dan kayaknya gua itu korban pertama," ucap Nara membuat kami semua memusatkan perhatian padanya.

"Gua anak tunggal dan tiba-tiba kecelakaan tunggal minggu lalu. Tapi karena mungkin ada yang jagain gua, gua jadi selamat."

"Ini jelas ulah setan. Karena gua liat sendiri waktu itu ada bayangan hitam," lanjut Nara.

"Terus sekarang kita harus gimana? Nyawa kalian semua terancam," ucapku yang sudah berkaca-kaca.

Aku sama sekali tidak menyangka akan ada tragedi seperti ini di sekolahnya, tujuh korban bukanlah sedikit. Sudah tujuh nyawa melayang dan mereka anak tunggal yang pastinya sangatlah disayang oleh keluarga mereka.

"Apa sekolah kita nyari tumbal?" tanya Dimas tiba-tiba. "Semuanya terasa janggal dan nggak mungkin Cuma kebetulan. Di belakang semua ini pasti ada dalangnya."

"Apa Pak Kepala Sekolah?" Rere bersuara.

Tersangka pertama. Kepala Sekolah.

Kami berencana pergi keruangan Kepala Sekolah besok. Pasti ada sesuatu di sana.

***

Pagi-pagi sekali kami telah datang ke sekolah. Bahkan sebelum gerbang dibuka oleh satpam, kami sudah menunggu di depan.

Kami berlima berkumpul di depan kelas dan berencana ingin masuk ke ruangan Kepala Sekolah. Tapi ternyata, ruangan itu masih terkunci.

"Mending kita semua turun dulu ke bawah. Hawanya nggak enak banget," gumam Nara.

"Iya bener. Ayo turun," timpal Jingga dan menarik pelan tanganku agar mengikutinya.

"Gua di tengah!" teriak Rere menggenggam tangan Dimas dan Nara agar tidak meninggalkannya di depan kelas yang berada di lantai dua.

Drrkkkk

Drrkkkk

Drrkkkk

Langkah kami semua terhenti saat mendengar suara aneh saat hendak menuruni tangga.

Bangchin Twoshoot StoryOnde histórias criam vida. Descubra agora