6. Fixing a Broken Heart

206 57 22
                                    

"Kita sudah sampai, Ra."

Mataku mengerjap beberapa kali sampai tubuhku siap untuk bangun. Di sekelilingku terlihat gelap dan sepi. Dari bias cahaya lampu mobil, aku tahu kalau kami berada di tempat parkir. Beberapa mobil sedan berjejer di samping mobil kami.

Henry berpamitan. Dia harus kembali ke Shenzhen. Kata Lili, usia Henry hanya berbeda enam tahun dengan kami. Tapi, dia terlihat jauh lebih matang dan dewasa.

Meski sama-sama patah hati, dia sama sekali tidak terlihat sedih. Atau mungkin aku yang terlalu cengeng memikirkan orang-orang yang mematahkan hati.

Huh! Dasar Radit berengsek!

Aku sudah berkilo-kilo jauhnya dari Jakarta. Kenapa cowok itu masih wara-wiri di kepala?

"Ini di mana?" tanyaku, lalu menguap lebar-lebar. Pintu besi kecil di hadapanku terlihat seperti pintu darurat, atau pintu jalan rahasia. Aneh.

"Ini apartemenku," ucap Lili singkat. Wajahnya terlihat lelah dan matanya sedikit merah. "Kenapa liftnya dipelototin doang?" tanyanya sambil terkekeh. "Kamu tidur nyenyak sepanjang jalan. Padahal aku juga ngantuk, tapi kasihan, Gege nggak ada teman ngobrol."

"Kenapa nggak bangunin aku?" tanyaku balik protes. "Maaf. Aku benar-benar ketiduran."

Lili terkekeh. "Sudahlah. Aku tahu Kamu capek. Ayo masuk!"

Lili menempelkan kunci kamarnya ke pintu, sehingga pintu itu terbuka. Kami menaiki tangga sampai ke lantai dua, lalu berbelok di koridor.

"Lantai bawah ini pasti mahal," ucapku.

"Jangan bercanda, Ra," ucap Lili. Gadis itu terkekeh melihatku terbengong-bengong menatap dekorasi kamar yang sangat sederhana. Berbeda dengan apartemen Lisa yang terkesan gemerlap, apartemen Lili justru terkesan sederhana, namun perabotannya cukup lengkap.

"Aku nggak bercanda," ucapku sungguh-sungguh. "Kalau kamu lihat apartemen Lisa, kamu pasti mengerti maksudku. Perabotan di apartemennya memang mahal, tapi aku tahu, nggak semua terpakai. Misalnya, dia beli alat buat taruh odol, tapi odolnya tetap ditaro di gelas. Itu kan mubazir namanya."

Lili terbahak mendengar perkataanku. "Itu sih dianya aja yang jorok! Malah sama kamu juga lebih rapi kamu!"

"Iya juga, sih." Aku tersipu. Meski tampangku kurang "cewek," masalah kebersihan dan kerapihan bagiku selalu nomor satu. Apartemen Lili hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan ruang tamu yang merangkap ruang makan. Aku jadi tak enak. Jangan-jangan, kehadiranku menyusahkannya.

"Li, besok aku cari hotel aja, ya," ucapku pelan. Aku tak mau menyusahkannya, tapi aku juga tidak mau membuatnya tersinggung dengan permintaanku. Bagaimana kalau dia mengira aku tak mau tinggal di sini karena tempatnya kecil? Padahal bukan itu maksudku. Kutatap lekat mata Lili yang sepertinya terluka. "Eh ... maaf, Li. Maksudku, aku nggak mau buat kamu jadi ... uh ... repot," ucapku terbata.

"Aku tahu, Ra. Maaf karena tempatku kecil. Tapi kalau mau, kita bisa sewa hotel sama-sama. Aku memang sengaja menyewa tempat kecil ini supaya irit," ucap Lili. "Karena aku ingin beli rumah sendiri."

"Wow! Kamu hebat, Li. Dari dulu selalu rajin menabung. Seharusnya, selama empat tahun ini tabunganmu sudah banyak sekali, kan?" tanyaku.

Lili terkekeh. "Kamu benar. Gaji penyiar radio itu besar. Perjamnya bisa satu sampai satu setengah juta. Bayangkan aja kalau kerja 80 jam selama satu bulan."

"Terus? Dengan gaji segitu, kamu tahan tinggal di sini?" tanyaku tak percaya.

"Ya, dan aku nggak punya mobil." Lili terkekeh melihat mulutku yang ternganga. "Makanya, aku kan sudah bilang, kalau kamu mau, kita bisa sewa hotel aja."

Miles of Plum Blossom (Sudah terbit! PO ke penerbit Cerita Kata/ DM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang