1. Messy

296 62 61
                                    

“Mati aja kamu!”
Suara dingin Mas Awan, ditambah foto-foto di halaman majalah bisnis yang dilemparkannya kepadaku membuat mataku membelalak. 

“Apaan sih?” protesku. Jantungku langsung berdebar kencang saat melihat foto di lembar terakhir majalah itu. Tampangku dengan gaun hitam -yang sebenarnya terlihat manis dan anggun,- terlihat menyakitkan. Ekspresi wajahku sangat buruk.

Bibir yang tengah memaki dan mata yang menatap penuh kebencian, lengkap dengan jari tengahku yang diblur.

Huh! Siapa pun yang melihat pasti tahu jari apa yang teracung.

“Kamu harus bisa bertanggung jawab sama apa yang kamu lakukan,” ucap Mas Awan. Suaranya masih terasa dingin, seolah AC di kamarku rusak. Huh!  

“Sial!” 
Aku membanting majalah itu ke meja. Mas Awan yang semula berusaha menunjukkan tampang wibawa sok cool, jadi terkejut dan meninggalkanku dengan wajah cemberut. Untungnya, dia ingat untuk menutup pintu kamar.

Aku mendesah. Seharusnya, Mas Awan memang berhak memarahiku karena dia kakakku, meski hanya lebih tua dua tahun. Tapi tombol pengendalian diriku sedang rusak. Aku hanya bisa menggerutu sambil membalik-balikan halaman tengah majalah, yang menampilkan fotoku dan si berengsek. 

Aku sudah bertindak bodoh selama ini. Bagaimana mungkin jatuh cinta dengan cowok kampret yang mempermalukanku di depan keluarga?

Mau apa dia datang bawa-bawa kamera ke pesta ulang tahun Eyang? Untung saja satpam rumah Eyang langsung menahannya, jadi tidak ada yang melihat apa yang terjadi. Tapi, kenapa ada yang memotret peristiwa ini?  

Sial!
Kuraih ponsel dan langsung menekan nomor panggilan cepat. Ya, Radit memang sangat berarti buatku sehingga menaruh nomornya di urutan teratas daftar kontak. 

Ponselku tidak diangkat.

Kutekan lagi tombol hijau berkali-kali, sampai suara merdu dari seberang berkata, “Nomor yang Anda hubungi, tidak menjawab.”

“Berengsek!” teriakku sambil membanting handphone ke dinding. Aku tidak menyesal melihat layarnya pecah dan bagian-bagian ponsel itu tercerai berai. Seharusnya itu Radit!

Telepon rumah berbunyi, tapi aku hanya mendengar sayup-sayup, sampai Madam Ghauri memanggilku. Terpaksa aku turun ke lantai bawah dan mengangkat telepon, sementara Madam Ghauri memungut puing-puing ponsel dan menaruhnya di meja samping ranjang. Wanita itu memang berwajah dingin, dan kadang menakutkan. Usianya mungkin tidak berbeda jauh dari Mami, tapi jauh lebih gesit dan cekatan. 

“Andhira,” Aku menyebutkan nama. Biasanya, yang mencariku sampai harus telepon ke rumah memang hanya klien, karyawan di perkebunan kapas bagian tekstil, dan para Dosen. Aku tidak punya banyak teman, tapi punya banyak kolega. Apalagi setelah lulus dengan peringkat cumlaude jurusan International Fashion Business, di sekolah desain Internasional. 

Aku tak bisa menyalahkan para dosen yang seolah menjadikanku jembatan untuk berhubungan dengan perusahaan Papi atau Mami. Dunia bisnis memang seperti ini, kan? Mereka hanya mencoba mendapat sedikit keuntungan dari relasi mereka denganku. Itu sebabnya temanku sedikit. Aku lelah karena terlalu sering dimanfaatkan. Apalagi kedua orangtuaku punya perusahaan terpisah, warisan dari keluarga masing-masing, yang membuatku dijuluki Bibi Gober oleh teman-teman!

“Ini aku, Ra,” ucap Radit di telepon. Jantungku berdebar. Rasanya tubuhku mendadak dingin dan telapak tanganku berkeringat. 
Apalagi yang ingin dijelaskan cowok berengsek ini? Kelakuannya di pesta ulang tahun Eyang sudah membuatku kehilangan muka. Belum lagi berita di majalah bisnis yang sekarang jadi kolom gosip. Semua ini berhasil membuat goyah urusan Papi dan Mami. Tubuhku mematung dengan tangan masih menggenggam gagang telepon.  

Miles of Plum Blossom (Sudah terbit! PO ke penerbit Cerita Kata/ DM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang