3. Crash! Boom! Bang!

233 56 42
                                    

Aku melangkah gontai menuju restoran cepat saji dan memesan makanan. Perutku keroncongan karena tadi tidak sempat makan.

Lisa berlari-lari kecil menyusulku, lalu meminta menu sama denganku. Dengan anggun, dia menghampiri satu-satunya meja kosong di restoran dan mulai membuka ponselnya. Aku tersenyum kecut saat pegawai kasir menjumlahkan pesananku dan pesanan Lisa, sehingga aku yang membayar semua.

"Ponselmu ke mana?" tanya Lisa saat aku duduk di depannya.

"Rusak," jawabku tak acuh. Kepalaku masih sakit karena kesal. "Jadi, aku ngebut ugal-ugalan sampai bandara, hanya untuk menunggu selama tiga jam sampai mereka datang?" Bibirku mengerucut, sementara Lisa terkekeh.

"Kita kan nggak tahu jam berapa mereka datang. Kalau kita datang tapi mereka sudah di dalam, percuma. Masa kita harus beli tiket pesawat dulu supaya bisa masuk?"

Aku mengangguk lesu. Apa pun yang dia katakan, kami sudah berada di bandara, dan waktu tidak bisa kembali. Aku sedikit memiringkan badan saat pelayan mengantar pesanan. Tanpa banyak bicara lagi, aku menyantap makanan sampai habis. Setelah meneguk sedikit kopi, aku duduk santai dan menatap Lisa yang masih menyantap makanannya pelan-pelan.

"Jadi, apa rencana kita?" tanyaku.

Lisa menatap tajam, seolah mencari sesuatu di balik tatapanku, lalu menarik napas panjang dan menyandarkan kepala di sandaran kursi.

"Jadi, Radit ingin melibatkanmu dalam konten-konten Youtube?" tanya Lisa.

Aku mengangguk lemas.

"Terus, kamu nggak setuju, karena itu akan memperburuk reputasi orang tuamu yang nggak suka publisitas," ucap Lisa lagi.

"Lebih tepatnya, KAMI  nggak suka publisitas yang berhubungan dengan harta. Papi selalu bilang, harta kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan. Kerja keraslah yang harus kita banggakan," ucapku. "Manusia bisa disebut hidup kalau dia berjuang. Karena kalau nggak berjuang, apa artinya hidup."

Lisa terkekeh. "Kamu sudah berubah, Ra. Dulu kamu selalu berapi-api. Gampang marah, arogan, dan maunya menang sendiri."

Aku tertegun dan menatapnya tajam. "Memangnya aku seperti itu?"

Lisa terkekeh lagi. "Kamu kan dari dulu terkenal karena itu. Buktinya, dari semua pemandu sorak, cuma kamu yang ponselnya paling sering rusak karena dilempar-lempar."

Giliran aku terkekeh. Lisa benar. Betapa sering aku merusakkan HP, sehingga semua teman dekatku tahu, bahkan keluargaku dan Madam Ghauri. Mungkin mereka sudah menganggap itu hal biasa.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh rombongan anak muda yang bercengkrama melewati meja kami. Tubuhku menegang seketika melihat punggung bocah itu. 

"Radit!" teriakku.

Wajah Lisa memucat, matanya mengikuti arah pandangku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wajah Lisa memucat, matanya mengikuti arah pandangku. Pemuda berbaju hitam yang kupanggil namanya menoleh dengan cepat, begitu juga para pria disekitarnya.

"Rara?" ucapnya seolah tak percaya. Teman-teman basket profesional Radit yang baru kulihat hari ini, menatap kami bergantian sambil senyum-senyum. Tanpa melewati pintu, aku melompati tembok pembatas rendah di sampingku dan langsung berdiri di hadapannya.

"Terima kasih sudah mau mengantarku, Sayang," ucap Radit sambil memelukku.

Dengan sekali hentakan, aku berhasil melepaskan diri dan menamparnya.

"Kamu gila!" seruku nyaris berteriak. "Apa perlu kamu share foto-foto itu?"

Radit meringis dan menyentuh bekas tamparanku. Dia tersenyum sinis dan berkata, "Bukannya kamu suka sekali foto itu? Kamu sendiri yang ingin menyimpannya untuk mengenang hari jadian kita."

Teman-teman Radit menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, lalu berbisik-bisik membicarakanku.

Tiba-tiba Lisa berdiri dan menyambar salah satu teman Radit yang tengah mengarahkan kamera ponsel ke arah kami.

"Kalian pikir mengekspos kehidupan orang lain itu bagus?" seru Lisa sambil menatap pria itu galak.

Aku mendelik, lalu kembali menatap tajam pria di hadapanku. "Kita putus!" ucapku sambil berbalik menjauh. Namun, dengan cepat Radit menarik tubuhku, dan memeluk dari belakang.

"Aku sayang kamu, Ra. Apa pun yang kamu pikirkan tentangku, semuanya kulakukan untukmu," ucapnya. Aku melepaskan diri dan berbalik. Bagaimana mungkin Radit tiba-tiba bicara seperti itu? Dia bukan tipe pria romantis yang mengobral kata-kata manis. Sesaat aku menatap ke dalam matanya, lalu tersadar. Dia pasti sedang membuat konten!

"Pokoknya kita putus!" seruku. Diam-diam aku menilai semua orang yang ada di sekitar situ, sampai aku mengenal ponsel yang dipegang oleh salah satu pengunjung restoran tempatku makan. Aku melompati tembok pembatas dan meminta ponsel itu dari tangan si pengunjung.

Sedikit ragu, pria itu menyerahkan ponsel ke tanganku, sambil menatap Radit yang terlihat sedikit panik, aku menekan pola ponsel Radit yang masih kuingat.

Astaga! Ponsel itu benar-benar terbuka! Ini ponsel Radit!

Aku melihat fotonya yang tengah menciumku menjadi wallpaper. Aku bahkan tidak ingat kapan foto ini diambil. Bagaimana bisa dia punya foto-foto seperti ini?

Dengan kecewa, kubanting ponsel itu ke lantai, sehingga kondisinya nyaris sama dengan ponselku yang hancur. Teman Radit itu sangat terkejut, tapi tak berani bicara apa-apa. Dia segera memungut isi ponsel yang bertebaran, dan menjauhiku.

Sekali lagi aku melompati tembok pembatas dan berusaha memukul Radit. Tapi dia menahan tanganku dan memitingnya ke belakang. Radit mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Kamu pikir aku nggak bisa menghancurkanmu! Lihat saja, sebentar lagi foto-fotomu yang lebih parah bakal keluar. Pokoknya, semakin kamu berusaha melawanku, kamu akan mendapat ganjaran. Kecuali aku dengar permintaan maafmu sekarang, atau nanti di kontentmu."

Radit melepas tanganku lembut, lalu mencium pipiku. Orang-orang di sekitarnya bertepuk tangan melihat kami. Hanya Lisa yang menatapku prihatin. Dia pasti bisa menebak apa yang diucapkan Radit setelah melihat ekspresiku.

Mereka sudah di antrian masuk, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Lisa merengkuh bahuku dan membawaku ke mobil.

"Ini nggak seperti yang kubayangkan, Ra," ucapnya. Aku hanya diam menatap gambar kuda yang bergerak-gerak lincah di setir mobilku.

"Aku heran. Kenapa Radit terobsesi untuk ajak aku buat konten? Aku sudah bilang kalau aku nggak suka, tapi dia malah mengancamku dengan foto-foto itu. Dia juga nggak mau kalau putus. Dia gimana, sih!"

"Aku mana tahu," jawab Lisa. "Ayo jalan! Kamu harus beli ponsel," ucapnya.

Terpaksa aku menginjak pedal gas dan menyetir ke arah apartemen Lisa dengan cepat. Rasanya untuk sementara ini aku tidak butuh ponsel. Jadi, meski Lisa protes, aku, hanya mengantarnya sampai di depan lobi, lalu tanpa turun atau mengucapkan apa-apa, aku langsung pulang. Aku ingin menyendiri untuk sementara, tak ada yang boleh mengganggu.

Tanpa berkata apa-apa pada seisi rumah, aku masuk kamar dan mengunci pintu. Aku kalah. Aku sudah gagal. Aku malu menghadapi semua temanku, guru-guru dan dosen, saudara-saudaraku, bahkan aku malu pada keluargaku.

Aku benci pernah jatuh cinta pada pria yang salah, pria yang hanya ingin memanfaatkan kekayaanku, bahkan tidak mengakui kepintaranku. Semua disangkut pautkan pada sesuatu yang tidak kusuka. Harta.       

Miles of Plum Blossom (Sudah terbit! PO ke penerbit Cerita Kata/ DM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang