Epilogue

509 94 28
                                    




——


Jelita keluar dari kamar mandi sebelum mendudukkan dirinya di atas kasur. Helaan napas terdengar dari mulutnya, menyambut kehadiran Ardan yang baru masuk dari ruang tengah. Lelaki itu turut mengambil posisinya di sebelah Jelita, membiarkan gadis itu menyandarkan kepala di bahunya.

"Kenapa, kok lesu gitu?" Tanya Ardan.

Yang ditanya menggelengkan kepalanya. Sejak pagi tadi Jelita merasa gugup luar biasa, dan efek yang biasa dirasakannya adalah jadi sering bolak-balik ke kamar mandi.

Gadis itu menegakkan tubuhnya, "Ardan, gimana ya ..." Katanya menggantung.

"Hm? Gimana?"

Jelita menatap Ardan dengan raut gelisahnya. Sesaat setelahnya, gadis itu kembali menghela napas seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Nggak, nggak apa-apa." Katanya.

Ardan meraih tangan Jelita dan mengusapnya pelan. "Mau dibatalin aja? Kalau belum siap nggak apa-apa, jangan dipaksain." Ujarnya.

"Jangan!" Seru Jelita. Gadis itu menggigiti bibir bawahnya sebelum berkata, "Nggak apa-apa kok, beneran."

"You sure?" Tanya Ardan untuk memastikan, yang diangguki oleh Jelita.

Setelah lewat setahun berpacaran, Jelita akhirnya memberanikan diri untuk memenuhi ajakan Ardan ke rumah ibunya. Meskipun belum yakin sepenuhnya, rasanya sekarang adalah waktu yang pas, karena bertepatan dengan hari ulang tahun ibunya Ardan.

Sampai detik ini, isi kepala Jelita masih dipenuhi berbagai kemungkinan yang kerap ditakutinya selama ini.

Kira-kira topik apa yang tepat untuk dijadikan bahan obrolan dengan ibunya Ardan?

Bagaimana kalau dia ditanya kenapa mereka berdua belum juga menikah?

Apa ibunya Ardan bisa menerima dirinya? Bagaimana kalau ternyata dia tidak disukai?

Mendadak kepala Jelita terasa pening. Meskipun Ardan bilang dia sudah menceritakan dirinya pada sang ibu, tetap saja Jelita merasa gugup. Semoga di sana dia tidak bolak-balik ke kamar mandi.





Hanya butuh setengah jam perjalanan saja dari apartemen Jelita menuju hunian dua tingkat yang berada di kawasan Pondok Indah tersebut. Sejak turun dari mobil hingga masuk ke dalam rumah yang dominan berwarna putih itu, Ardan sama sekali tidak melepas genggamannya pada tangan Jelita.

"Duduk di sini dulu, ya. Aku panggil Ibu sebentar ke atas." Ujar Ardan.

Jelita mengangguk paham. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruang tengah yang dipenuhi dengan bingkai foto di dinding dan juga di atas meja.

Hangat. Itu adalah kesan pertama yang gadis itu dapatkan dari rumah ibunya Ardan.

Ada sebuah bingkai foto yang menarik perhatian Jelita—yang paling besar jika dibandingkan dengan yang lainnya. Dari foto yang terbingkai di sana itu, Jelita akhirnya paham dari mana Ardan mendapatkan tinggi badannya.

"Ardan mirip sama bapaknya, ya?"

Suara lembut yang masuk ke pendengaran Jelita membuatnya terkesiap. Gadis itu refleks membalik badannya dan mendapati sosok wanita paruh baya yang masih terlihat anggun dengan dress putih yang dikenakannya.

"Anak-anak pada ngikut bapaknya semua, tingginya kayak galah." Lanjutnya, seraya mendekat ke arah Jelita. "Ayo, duduk sini."

Jelita mengangguk dan mengambil posisi duduk di tempat yang menurutnya paling aman. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu berjauhan dengan ibunya Ardan. Sedangkan Ardan sendiri malah sengaja meninggalkan mereka berdua di ruang tengah, entah apa yang dilakukannya di lantai atas.

A (Not So) Happy Free SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang