Because It's Her

454 104 49
                                    



——

Seiring jarum jam yang terus berputar, tekanan jemari Ardan pada laptop-nya kian brutal. Entah sudah berapa banyak kata umpatan yang keluar dari mulutnya pada sore menjelang malam itu, hingga membuat rekan kerjanya hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya.

"AAAAAHHH!!" Ardan menekan keyboard pada laptop-nya asal sebelum mengacak-acak rambutnya kasar. "Anjing nih, kenapa ngasih deadline mepet banget sih, bangsat!"

Bastian—rekan kerjanya—yang kebetulan lewat sambil membawa setumpuk kertas yang diambilnya dari ruang fotokopi itu akhirnya membuka suara, "Lo kalau ngomong kasar jangan diborong gitu juga dong." Katanya.

Ardan hanya melirik ke arahnya sekilas, sebelum kembali berkutat dengan pekerjaannya. Seharusnya setelah selesai meeting dengan klien terakhirnya tadi siang, dia bisa langsung meluncur ke tempat Jelita lebih awal.

Nyatanya, keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Kliennya itu meminta banyak revisi dari proposal yang diajukan Ardan kepada mereka, dan lelaki itu hanya diberi waktu satu hari untuk menyelesaikannya.

Dan yang lebih menyeramkannya lagi, Ardan bisa kehilangan klien itu kalau target yang diberikan tidak bisa tercapai.

"Lo lagi kenapa sih?" Bastian kembali dengan segelas kopi yang dia letakkan di atas meja untuk Ardan. "Biasanya juga lo sampai ganti hari masih di sini."

"Gue udah ada janji..." Ardan melirik sekilas ke arah jam di tangannya. "...satu jam lagi harusnya gue udah cabut dari sini. Duh, weekend gini pasti macet juga jalanan."

"Ya udah balik aja, nanti kan bisa lanjut dikerjain di rumah?" Ujar Bastian.

Tanpa mengalihkan matanya sedikitpun dari layar, Ardan menyeruput kopi panas yang dibuat Bastian barusan. "Nggak bisa, gue udah janji mau nemanin Jelita. Nggak mungkin gue sambi kerja."

"Jelita siapa lagi, Bos?" Tanya Bastian, saking banyaknya teman perempuan Ardan di luar sana—tapi tidak ada satu pun yang tampak diseriusi oleh atasan sekaligus temannya itu.

Belum sempat Ardan menjawab, Bastian mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya sambil setengah berteriak. "Aaaaah, Jelita yang waktu itu lo posted di Instagram itu bukan?" Tanyanya lagi.

Ardan menggumam sebagai jawaban atas pertanyaan Bastian barusan. "Hari ini dia ulang tahun."

"Hmm, I see. Lo udah janji mau ngerayain bareng dia gitu?" Bastian ini memang nomor satu kalau soal ingin tahu urusan orang lain.

"Ya...nggak dirayain juga sih. Intinya gue harus cepat ngelarin ini biar nggak telat ke tempat dia." Tanggap Ardan. "Nanya melulu lo ah, kerja sana!"

Bukannya kembali ke mejanya, Bastian masih betah berdiri di samping meja Ardan. Lelaki itu melipat kedua lengannya di depan dada, dan wajahnya nampak berpikir keras. "Tapi ya, Dan—"

"Apaan lagi, Bas?"

"Lo pacaran sama si Jelita itu?"

"Nggak."

"Hmm.." Bastian mengusap-usap dagunya. "Lo suka sama dia?"

Ardan hanya menghela napas tanpa berniat menanggapi rentetan pertanyaan dari temannya itu.

"Kalau lo nggak suka sama dia, terus kenapa kayaknya janji ini penting banget buat lo?" Tanya Bastian lagi.

Yang ditanya-tanyai sejak tadi mulai kesal. Kalau terus diinterogasi seperti ini, bagaimana pekerjaannya mau cepat selesai? "Lo tuh kenapa sih nanya-nanya melulu dari tadi? Kepo banget, njir."

A (Not So) Happy Free SoulWhere stories live. Discover now