"Tanyakan saja pada diri Eomma sendiri. Dan Eomma pasti akan tahu jawabannya," celetuk Joshua kemudian melenggang pergi dari hadapan ibunya.
Meninggalkan rasa jengkel yang tertahan sejak tadi sekaligus menjadi pertanyaan baru dalam benak. Ada apa dengan sang ibu? Lalu kenapa pula sang ibu tiba-tiba membahasnya?
***
Ketika Joshua menaiki lantai atas menuju kamarnya, dia terhenti sejenak. Lalu melirik amplop-amplop yang tercecer di atas lemari yang berada dekat dengan pintu rumah, tepat di seberang tangga.
Dia turun lalu mencoba mengecek surat-surat itu satu per satu. Sepertinya tukang pos tidak menunjukkan diri lagi setelah terakhir kali mengirim beberapa surat yang tak sempat terbaca dan tentu saja surat yang sering dijumpai adalah surat tagihan listrik, biaya sewa rumah, undangan dan lain-lain.
Joshua berharap salah satu di antaranya adalah surat dari sang ayah. Mengingat bahwa Evans pernah memberi tahu mereka kalau dia akan mengirim surat jika berhalangan pulang dalam waktu dekat.
Joshua menghempas kasar surat-surat tersebut.
Nihil.
Tak ada barang satupun surat dari sang ayah. Padahal sudah melewati sebulan penuh yang sesuai janji bila melewati dua minggu berarti akan ada surat yang menghampiri.
Alih-alih demikian sampai sekarang saja tidak kunjung memberikan kabar. Joshua masih ingat sewaktu di bandara, ayahnya mengatakan bahwa dia berkemungkinan tidak pulang lantaran masalah pekerjaan yang dikerjakan yang tidak pula diberi tahu alasan yang lebih jelasnya.
Namun, tidak tahu secara pasti berapa lama sang ayah tetap berada di sana.
***
***
Suara alat scan bergema hingga ke penjuru mini market yang sunyi. Di sepanjang bunyi 'tit' dengan cekatan tangan mulai memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam plastik sementara pria tua yang berdiri di depannya sedang mengeluarkan dompet.
Melalui monitor terpampang jelas nominal harga barang yang dibeli usai di-scan satu per satu. Dia mengeluarkan secarik struk sekaligus menyerahkan belanjaan kepada pria tua itu.
"Totalnya jadi 5.000 won, Ahjussi (paman)."
Pria tua itu manggut-manggut lalu memberi beberapa lembar uang kepada Joshua dengan kecut. "Duh, maaf Nak. Saya bawa uang pas-pasan, kurang 2.000 lagi."
Joshua menghela napas pelan kemudian tersenyum. "Tidak masalah Ahjussi, anda tidak perlu menambahnya lagi."
"Gwaechana? (Tidak apa-apa?)" tanya pria tua itu ragu-ragu.
YOU ARE READING
Jendela Joshua (End)
General FictionDi saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda cerita dengan pemuda yang satu ini. Joshua cenderung labil, tidak tahu harus kemana dia membawa harapan dan impian yang digantungkan sejak keci...
Bab 15 - Perihal Ayah
Start from the beginning