Milan - Mempersiapkan Diri

Zacznij od początku
                                    

“Gibran tahu sesuatu yang nggak gue tahu, ya?”

Aku bergeming. Tidak berani menghadap Kasta. Jantungku berdebar semakin cepat. Untuk itu aku memilih pura-pura sibuk di depan cermin.

“Milan?”

Aku tidak menjawab.

“Handoko itu siapa?”

Aku menunduk dan terdiam.

*
*
*

Aku dan Kasta sampai di Kasturi Kafe satu jam kemudian. Tidak ada pengunjung sama sekali. Vishal dan Sagita juga belum datang.

Omongan Kasta soal siapa itu Handoko tidak kami bahas lebih jauh. Aku bicara sejujurnya. Pria itu adalah ayahnya Jefferson, anak didikku di sekolah.

"Mil, lu nggak percaya sama gue sampai-sampai nyembunyiin ini?"

"Ini nggak seperti yang nggak lo bayangkan, Kas."

"Nggak, Mil. Ini jelas dan masuk akal. Lu nyembunyiin sesuatu dari kami, terutama gue."

Kasta mengusap wajah, aku masih berkelit dari matanya. Kemudian kami diam untuk sekian detik. Pasti Kasta berpikir ke sana——bahwa aku perempuan kotor perebut kebahagiaan orang. Aku tidak sanggup  menjelaskan  kalau Kasta bertanya lagi. Perkara hati dan perasaan yang kualami terlalu rumit.

"Jadi bener yang dibilang Gibran? Lu ada main sama—— "

"Kas, please. Lo nggak tahu apa-apa," kataku tegas. "Apapun yang mau lo tuduhkan, gue nggak akan jawab. Tolong jangan ikut campur."

Kami kembali diam. Sekitar satu menit. Pada akhirnya percakapan kami itu tidak diteruskan. Kasta mengganti topik. Dia kembali ke tujuan awal datang ke rumahku, mengajak bertemu Sagita dan Vishal.

"Mau dibikinin apa, Mil?" Pertanyaan Kasturi, kakak kembar Kasta, membuyarkan lamunanku. Kuperhatikan wajahnya lamat-lamat. Walau tidak dikatakan, dia kelihatan cukup stress. Raut mukanya agak mendung.

"Nggak usah, Mbak. Nanti saja."

Aku memanggilnya Mbak karena pada dasarnya dia lebih tua. Kalau ke Kasta, aku tetap memanggil nama karena tidak terbayang jika harus memakai embel-embel. Dari SD sampai SMA selalu satu kelas, teman main juga. Jadi rasanya tidak bisa kalau harus memanggil dia Kak atau Mas padahal dia tiga tahun lebih tua.

Jangan kaget. Aku, Sagita, dan Vishal memang tiga tahun lebih muda dari Kasta. Si bodoh itu mengaku telat masuk sekolah. Ketika tahu hal ini aku merasa keren karena ternyata aku yang SD seberani itu, ya. Nekat menggeplak kepala anak yang lebih tua dariku.

"Lo ke mana saja, sih, Mil?" Kasturi bertanya. Dia duduk di hadapanku sambil menahan dagu.

"Ada, kok. Cuma sibuk makanya jarang ke sini."

"Lo baru ke sini lagi setelah lulus SMA loh. Makanya gue pangling banget lihat lo sekarang."

Aku tersenyum sumir sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

Dulu aku sering ke kafe ini, terutama bersama Sagita. Awal kemunculannya berbarengan dengan Kasturi. Sebelum hari itu aku tahunya Kasta cuma korban cerai. Ternyata dia terpisah juga dengan saudara kembarnya.

Aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya kalau harus berpisah dengan kakak atau adik. Aku yang dibesarkan bersama empat saudara perempuan pasti tidak sanggup. Tapi mungkin cerai lebih baik ketimbang bertahan di atas mahligai cinta di atas pasir. Apalagi kalau bentukan suaminya macam taik kayak Ayah.

"Si Sagita mah nggak usah ditanya. Makin-makin dia," kata Kasturi.

"Alis lu nggak simetris gara-gara dia, Tu," celetuk Kasta. "Makanya kalau nonton tutorial mending jangan di video dia. Ih, jelek banget sumpah. Kayak keris peninggalan majapahit."

"Kampret," Kasturi protes sambil memukul adiknya. Ia kembali menatapku dan berkata, "Nggak, kan, Mil? Alis gue bagus, kan?"

"Alis kamu bagus."

Aku, Kasta, dan Kasturi sama-sama mendongak. Kudapati seorang cowok berkemeja biru kotak-kotak berdiri di sebelah Kasturi. Lewat ekor mata tadi aku sempat melihatnya mendekat ke sini. Kukira pelanggan.

Kasturi berdiri dari kursi. Wajahnya kelihatan lebih cerah. Aku tidak mengenal cowok yang kini tersenyum ke arah Kasturi, tapi bisa kuterka pastilah dia ini orang spesial untuk kakaknya Kasta.

"Heh, nggak usah pegang-pegang," Kasta sewot ketika cowok sipit itu merangkul Kasturi. "Belum muhrim."

Kalau ada Sagita, dia pasti akan bilang najis-sok suci-tolong ngaca.

"Siapa ini? Kok, baru lihat?" kata cowok itu setelah melepas rangkulannya.

"Kenalan dulu, dong."

Cowok itu mengangsurkan tangan, aku beringsut dari kursi dan membalasnya.

"Yuggi."

"Milan."

Kami saling lepas tangan. Aku kembali mendaratkan bokong, diikuti ketiganya dengan Yuggi yang duduk di sebelah Kasturi.

"Gimana ketemuannya tadi, Beb?" tanya Kasturi. Kulihat matanya berlumur harapan. "Lancar, kan?"

Yuggi menghela napas. Bahunya merosot sedikit. Kepalanya menggeleng tanpa semangat.

"Mereka tetap minta cancel dan balikin DP."

"Babik," cebik Kasta. "Jangan kasih, lah. Kan, di awal sudah dibilang DP nggak bisa balik."

"Mau gimana lagi, Kas. Kepercayaan mereka sudah nggak bersisa."

Kasturi cemberut, ikut menghela napas berat.

"Jangan sedih gitu, dong, Beb. Kita masih bisa bertahan. Ini pasti bisa kita lalui."

"Sudah lima pesta besar yang minta cancel. Ini kafe juga nggak ada pemasukan." Kasturi menutup wajah menggunakan telapak tangan, sangat frustrasi.

"Kita jalan saja, yuk. Biar fresh."

Kasturi tida menjawab. Aku melirik Kasta, cowok di sampingku itu tampak sama frustrasinya. Tanpa bertanya lebih jauh, aku bisa menangkap inti cerita ini.

Bisnis Kasturi di bidang kuliner mengalami kemerosotan. Mulai dari kafe hingga katering. Ini pertama kalinya terjadi sejak Kasturi merintis bisnis ini. Makanya ia amat begitu terpukul. Orang-orang tidak bertanggungjawab ikut memperparah suasana. Mereka berbondong-bondong memberikan bintang 1 di media sosial.

"Yug, bawa main Kasturi, gih. Tapi janji, balik-balik mesti happy mukanya," kata Kasta sambil menyandar di kursi dengan santai.

"Mau, Beb?" Yuggi meminta persetujuan.

"Sudah sana," ujar Kasta. Ia memainkan ponsel sekarang. "Si Vishal sudah di parkiran, noh. Jangan ganggu kami yang mau diskusi, dong."

"Ya sudah, kita keluar saja, Beb," kata Kasturi sambil beringsut. "Pusing kepalaku kalau ingat ini. Aku siap-siap dulu, ya."

Yuggi tersenyum, mengiakan rencana Kasturi untuk cari angin sebentar. Sementara Kasturi bangun dari kursi untuk siap-siap, aku dan dua cowok di sekitarku masih duduk. Suasana diisi percakapan Kasta dan Yuggi karena aku memilih diam. Tepatnya, aku memilih untuk memikirkan kemungkinan terbesar pembahasan di pertemuan nanti.

Aku yakin, Kasta akan mengungkit soal orang tuanya Jefferson nanti. Aku harus menyiapkan jawaban sebaik mungkin.

-bersambung

14 Mei 2022

They Did ItOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz