Part Time!

16 13 0
                                    

“Selesai sudah,” gumamku ketika merenggangkan badanku seketika setelah keluar dari ruang konseling.

Sekolah kembali sepi, tinggal sedikit siswa-siswi yang masih ada di sekolah. Aku kembali berjalan dengan sendirinya.

Aku berjalan melewati kelasku dan menemukan Kimberly tengah berbaring di atas meja, aku dapat melihat bajunya terbuka sepenuhnya dan menunjukkan pakaian dalamnya yang berwarna merah muda. Perutnya yang langsing dapat kulihat naik turun dengan cepat seolah sedang mengalami sesak. Kakinya tergontai ke samping meja dan tangan yang direntangkan lebar.

Kupalingkan wajahku seketika setelah menyadari apa yang sedang terjadi dan dengan seketika mempercepat langkahku. Kuletakkan tanganku di depan wajahku untuk menutupi wajahku yang memanas.

Dengan jalanku yang tergesa-gesa aku bertabrakan dengan Nolyn, dia menatapku dengan alis kanannya terangkat heran melihatku seperti baru saja melihat makhluk halus.

“Hei, kau kenapa?” tanyanya, ini adalah kali pertama kami berbincang di luar rumahnya setelah aku kabur dari rumahku.

“K-kim, ekhem ... maksudku, tidak ada apa-apa,” ucapku sedikit mencubit pahaku karena hampir membocorkan hal yang tak penting di ucapkan tersebut.

“Ada apa dengan Kimberly?” tanyanya lagi dengan nada yang seperti tengah menginterogasiku.

“Bukan apa-apa, dimana Alyn?” dengan cepat aku memberinya pertanyaan balik, pasti dia akan menjawabnya dengan panjang lebar.

“Sudah pulang, sebenarnya apa yang terjadi dengan Kimberly?” Sial, dia menjawabnya hanya dengan 2 kata dan malah kembali memojokkanku dengan pertanyaan yang tak ingin aku jawab itu.

Aku mulai menggaruk kepalaku yang tak gatal mencoba mencari jawaban yang akan masuk di akalnya, wajahnya perlahan berubah jahil.

“Kalian ... Pacaran ya?” ucapnya mencoba menggodaku dan sedikit menyikut perutku.

“Ah,lupakan!” Menurutku, tak ada jawaban lain selain kabur.

“Aku akan pulang terlambat!” Ucapku setelah mendapat jarak yang aman dari Nolyn dan lalu kembali berlari ke parkiran untuk mengambil sepedaku.

Pertemuan dengan Tuan Thomas tadi terasa seperti kejadian auto pilot, aku tak begitu mendengarkan apa yang di ucapkannya. Aku hanya mengingat, demi menjaga ketenanganku ia menyarankanku untuk mendengar musik-musik pop lembut yang—menurutku—dapat di kategorikan sebagai pop cengeng. Ayolah, apakah lagu-lagu dari Green Day, Sewerperson, atau Metallica tidak bisa menenangkanku? mereka juga punya lagu 'cengeng'.

Kukayuh sepedaku dengan rute yang sama dengan kemarin, menuju Mister Flower. Sebelum kubawa diriku ke alam mimpi, aku sempat menelepon nomor yang tertera di karton tempat mereka meletakkan pemberitahuan bahwa mereka sedang mencari karyawan. Jelas saja orang yang ada di sisi lain telepon memarahiku karena menelepon begitu larut, namun dia tetap memintaku untuk datang ke Mister Flower hari ini dan itulah yang sedang kulakukan sekarang.

***

Bel pintu berbunyi dan seperti biasa Mister Flower sepi pengunjung, aku heran bagaimana toko ini masih tetap berdiri.

“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” Karyawan yang sama seperti biasa menyapaku ramah.

“Ehm ... saya ada janji temu dengan Tuan ...” Kalimatku tergantung karena aku melupakan nama dari orang yang akan menginterviewku hari ini, bravo Kerwin, bravo.

“Tuan Kishimoto?” tanya pegawai itu dan aku hanya bisa facepalm karena kelalaianku.

“Iya benar,” balasku serta tawa kecil yang menutupi rasa maluku.

Dia memintaku untuk menunggu dan menghilang ke ruangan belakang meninggalkanku seperti biasa.

Sepuluh menit berlalu, pegawai itu kembali lagi dengan pria tua yang sudah beberapa kali kutemui di tempat ini.

“Kita bertemu lagi ya?” dia tersenyum kepadaku dan memintaku untuk mengikutinya.

Dia membawaku ke ruangan lain.

Itu adalah ruangan ala jepang di mana kami duduk di atas bantal, kuserahkan data diri yang ia minta kemarin.

“Baik, mari kita mulai.” Tuan Kishimoto memasang kacamatanya seraya membaca data diriku.

“Hm ... Kerwin Gallacher, 17 tahun, SMA,” dia membaca data itu dengan serius sedangkan aku hanya duduk di hadapannya dengan kaku.

“Pertanyaan pertama,” ucapnya, sedikit mengejutkanku.

“Apa bunga kesukaanmu?” Ha? aku sedikit terkejut dengan pertanyaan pertama itu, itu tidak seperti pertanyaan pertama yang tipikal akan di tanyakan—berdasarkan buku yang kubaca.

Ku garuk pipiku dengan jari telunjukku, bingung ingin menjawab apa.

“Tulip putih,” jawabku acak setelah memutar otakku mencoba memahami pertanyaan yang diberikan.

“Kenapa tulip putih?” tanya Tuan Kishimoto sekali lagi dan membuatku kembali mencari alasan yang logis. Tidak mungkin kubilang pilihan acak.

“Karena ...” Bagus, otakku tidak bisa menemukan jawaban apa pun.

Selagi aku berkutat dengan pikiranku, Tuan Kishimoto masih menatapku menunggu jawabanku.

Suara tawa pelan berhasil lolos dari mulutnya, “Hanya jawaban acak, bukan?” Aku menunduk malu ketika Tuan Kishimoto membuka suaranya.

“Kalau begitu, apa bunga yang kau benci?” Tuan Kishimoto kembali bertanya padaku dengan nada suaranya yang tidak berubah.

Sekali lagi aku bingung, tidak bisa memahami alasan dari setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh Tuan Kishimoto padaku.

Aku kembali mencari-cari jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut. Netraku bergerak-gerak selagi aku berpikir, hingga tidak sengajaku terlihat karangan bunga yang terpajang di atas lemari di vas biru muda.

“Bunga lily putih,” ucapku ketika mengetahui jenis bunga yang terpajang itu.

Tuan Kishimoto mengikuti arah pandanganku, “Apakah jawaban acak lagi?” tanyanya dan kubalas dengan gelenganku.

“Aku ... Hanya tidak menyukainya,”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Tuan Kishimoto tidak mengatakan apa pun. Melihat itu aku berpikir mungkin aku gagal dalam sesi interview ini. Tentu saja, bagaimana bisa aku menjawab semua pertanyaannya dengan acak dan tidak memberikan alasan yang jelas.

Kualihkan pandanganku dan menatap wajah Tuan Kishimoto. Aku sempat berpikir mungkin Tuan Kishimoto memasang raut 'apa kau bercanda', ternyata tidak. Tuan Kishimoto malah memasang senyuman lembut di wajahnya.

“Kau lulus,” Dua kata itu berhasil membuat mataku melebar antara bingung dan terkejut.

“Kenapa?” Tuan Kishimoto bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah vas bunga yang sempat menarik perhatianku.

“Karena, tidak ada bunga yang kau benci.” Jawaban tersebut benar-benar tidak berhasil masuk diakalku. Apa seperti ini rasanya kalau mendapatkan jawaban acak.

“Umumnya, orang-orang akan memilih mawar merah sebagai bunga yang mereka suka secara acak dan memilih bunga yang tidak indah di mata mereka sebagai bunga yang tidak mereka suka,” kata Tuan Kishimoto seraya mengulurkan tangannya ke arah kelopak lily putih itu.

“Tetapi dirimu,” Tuan Kishimoto menggantung kalimatnya dan berbalik menatapku. “Hanya tidak menyukai warna putih.”

Mulutku terbuka sedikit dan mengerjap pelan mataku yang teringat dengan dua bunga pilihanku.

“Warna putih selalu terkait dengan kebersihan, kesederhanaan, kemurnian, kesucian dan lainnya. Banyak hal yang bisa menjadi makna dari kata putih,” kata Tuan Kishimoto.

“Tetapi jika itu putih, ia selalu berkaitan dengan fakta yang tidak bisa kita tolak,” Tuan Kishimoto mengangkat vas bunga biru tersebut dan meletakkannya di sebelahku.

“Kematian.”

Oh! Philosophy!, Oh! My Dear Love!Where stories live. Discover now