4. The Darkness (pt. 3)

1.3K 86 37
                                    

Halo, readers-ku yang manis nan budiman.

Budayakan tinggalkan vote and comment yaa. Thanks :)

Di tengah basement yang remang-remang, Ali menatap mataku lamat-lamat dan menggenggam tanganku semakin erat. Ah, aku tidak kuasa menatap matanya. Aku memalingkan muka. Aku harus melepas tangan Ali, tapi tanganku enggan bergerak. Aku terbuai nyaman dengan kehangatan genggaman tangan Ali. Akhirnya aku kembali melihat wajahnya.

Siapa saja, tolong aku!!!

Ali tersenyum lalu...

Ali...

Ah, Ali mencium tanganku sambil memejamkan matanya. Sungguh! Jantungku meronta-ronta ingin lompat dari posisinya.

"Ali...," bisikku pelan.

Ali kembali menatapku lamat-lamat. Lalu menarik napas dalam-dalam.

"Kau ingat, Ra, saat Seli menanyakan padaku tentang... Tentang speech-ku saat tampil dalam talkshow 'Satu Jam bersama Lady Oopraah'? Seli menanyakan apakah ceritaku tentang anak kecil yang lahir di tengah badai, tinggal di rumah besar bersama belasan pembantu, dengan ilusi bahwa orangtuanya masih hidup dan sibuk berbisnis ke luar negeri. Kau ingat?"

Aku mengangguk sambil mengingat-ingat saat itu. Wajahku kembali memanas ketika mengingat bagaimana penampilan Ali yang benar-benar berubah menawan saat itu. Aku... Terpesona? Oleh si Biangkerok ini? Hahaha. Tidak mungkin.

"Aku seketika menampik ketika Seli menanyakannya. Dia peka sekali. Berbeda dengan kau yang tsundere. Sebal juga kenapa yang peka dan menanyakannya justru Seli, bukan kau, Ra. Jangan-jangan kau memang tidak pernah memperhatikanku sebagai lelaki? Maksudku, sebagai sahabat?"

"Bukan begitu, Ali... Saat kau tampil, aku justru terpesona-"

"Terpesona olehku, Ra?"

Sial! Aku keceplosan. Aku bergegas menggeleng. "Ih, mana mungkin. Aku... t-terpesona... dengan speech-mu."

"Oh, pantas sih kalau itu. Saat itu aku menceritakan tentang kau yang tidak pernah bertemu orang tua kandungmu, Seli yang dibesarkan dalam keluarga bahagia dengan orangtua yang bekerja sebagai dokter, Master B yang hanya bisa melukis kekosongan berulang kali setelah dihapus ingatannya tentang istri dan anaknya yang telah dibunuh dengan kejam, atau tentang Nyonya Kulture yang mengganti identitas masa lalunya dan kini menjadi Lady Oopraah, semua itu benar adanya. Termasuk..."

Sekali lagi, Ali menarik napas dalam.

"Termasuk pertanyaan Seli. Anak kecil yang lahir di tengah badai itu... Itu benar aku, Ra."

Mataku memelotot. Sungguh, sahabat macam apa aku ini? Sama sekali tidak peka dengan speech Ali saat itu. Anak kecil yang lahir di tengah badai dalam speech Ali saat di talkshow itu... Ali? Bisa-bisanya aku tidak pernah memperhatikan detail itu padahal clue-nya jelas sekali dan Seli pun menyadarinya dengan mudah.

Saat aku asyik merutuki diriku sendiri, Ali yang sedari tadi masih menggenggam tanganku, mengarahkan tanganku ke pipinya. Dia tersenyum. Dan lagi-lagi menarik napas dalam-dalam.

"Dan aku benar-benar berilusi bahwa orang tuaku masih hidup, masih terus bekerja ke luar negeri. Sebelum bertemu kau dan Seli, duniaku sepi. Aku terus hidup dengan ilusiku. Mungkin hingga sekarang. Makanya, aku tak pernah repot soal ijin sepertimu, Ra. Hidupku, sebelum bertemu dengan kalian, 100% ada dalam kendaliku. Tak ada yang harus aku khawatirkan, tak ada yang harus aku lindungi, tak ada yang harus aku korbankan, tak ada yang harus aku bagi dengan siapapun. Duniaku, 100% milikku.

Raib & Ali (Friendship, Love, and The Next Mission)Where stories live. Discover now