3. The Darkness (pt. 2)

1.3K 72 7
                                    

"Hiks, hiks..."

Ah... Pikiranku kacau. Aku tidak boleh begini. Bagaimana bisa aku menolong Ali kalau diriku sendiri sedang runyam begini.

Oke. Aku harus menenangkan diri. Aku mulai menarik napas panjang dan berkonsentrasi.

Tanganku yang sedari tadi masih di atas dada Ali mulai mengeluarkan cahaya hangat. Teknik penyembuhanku bekerja.

Berkat sedikit cahaya dari tanganku, samar-samar aku dapat melihat wajah si Biangkerok itu. Pucat. Entah apa yang dikerjakannya berhari-hari terakhir.

Dari tanganku, aku merasakan tidak ada satupun yang rusak atau terluka dari dari dalam tubuh Ali. Sepertinya ia benar-benar kelelahan karena terlalu banyak berpikir, kurang tidur, atau bahkan tidak makan secara benar berhari-hari.

"Ali... Bangunlah... Ku mohon..."

Napas dan detak jantung Ali mulai stabil. "Syukurlah," kataku lirih.

Mata Ali mengerjap-ngerjap. Tiba-tiba ia memegang tanganku yang masih bercahaya di atas dadanya.

Aku terkesiap. Terkejut, bingung, marah, sekaligus senang. Air mataku tak tertahan lagi. "Ali... Hiks..."

"Hai, Ra." Sapa si Biangkerok itu dengan senyumnya yang lemah.

"Hiks... Apa yang terjadi? Mengapa semua gelap? Mengapa semua listrik padam bahkan ponselku tidak mau menyala? Mengapa kamu tergeletak pingsan di sini? Hiks.. Apa yang sebenarnya terjadi, Ali?"

"Hei, hei, Ra... Hei... Aku baru sadar. Sudah kau cerca pertanyaan sebanyak itu."

"Maaf..."

Lalu Ali mempererat genggaman tangannya pada tanganku yang masih di atas dadanya. Dan...

"Hei..." Aku terkejut atas apa yang dilakukan Ali. Berani-beraninya si Biangkerok ini mencium tanganku.

"Terimakasih, Tuan Putri. Berkatmu aku merasa segar kembali."

Entah semerah apa pipiku sekarang. Berdua, di basement gelap ini, bersama si Biangkerok ini. Dan bisa-bisanya dia melakukan hal semanis itu. Aaaaaaaa!!!!! Jantungku mau meledak rasanya.

Lama-lama aku merasa kakiku pegal memangku kepala si Biangkerok ini.

"Ali, kakiku pegal..."

"Ah. Maaf, Ra. Pangkuanmu terlalu nyaman. Lima menit lagi boleh?"

Tidak tidak tidak tidaaaakkk!!!!!

Jantungku benar-benar meledak kalau begini caranya. Belum lagi, Ali tidak melepaskan genggaman tangannya sama sekali.

Dan rasanya tanganku pun enggan terlepas dari tangan Ali. Hangat dan nyaman rasanya.

"Ra? Kok diam? Boleh tambah lima menit tidak?"

Baru juga siuman, si Biangkerok ini sudah bisa berbicara dengan nada yang menyebalkan.

"Boleh. Ada syaratnya."

"Apa?"

"Bisa tolong ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang kamu kerjakan beberapa hari terakhir, Ali?"

Raib & Ali (Friendship, Love, and The Next Mission)Where stories live. Discover now