44

38 15 0
                                    

Api berkobar diantara kegelapan. Cahayanya beradu dengan semburat lembayung di ufuk barat. Percikan-percikan bara kayu yang melayang ke angkasa laksana kunang-kunang yang beterbangan menerangi malam.

Mata Haji Masdar tertuju pada kobaran api tidak jauh di hadapannya. Dia begitu yakin jika asap dari api itu akan menuju surga. Keyakinan itu datang ketika erangan terdengar dari balik kobaran api.

"Ahhhh ...."

Mata orang tua itu menatap tajam jilatan api yang saling berlomba menggapai langit. Dia benar-benar merelakan Minarti dan Munarman menyusul anak-anaknya untuk masuk ke alam lain.

Di belakang Haji Masdar, seorang pria berbaju putih masih belum percaya dengan jalan pikiran tawanannya. Burhan menggelengkan kepala menyaksikan betapa orang di hadapannya enggan mengubah pendiriannya.

"Anjing! Dasar orang tua keras kepala!"

Umpatan Burhan kembali meledak. Dia sulit mengerti kenapa Haji Masdar masih enggan mengubah pendiriannya ketika melihat anggota keluarganya dibunuh dan dibakar hidup-hidup ....

"Hei! Apa yang ada dalam pikiranmu? Kenapa kegilaanmu malah semakin menjadi-jadi?"

Haji Masdar enggan menjawab pertanyaan Burhan. Sungguh pekerjaan yang sia-sia ketika mengancam orang tua itu dengan segala cara. Dan, menyiksa keluarganya satu per satu bukanlah cara yang sanggup mengubah jalan pikirannya.

Burhan berjalan mondar-mandir. Dia kesal, tetapi dia tidak mau menumpahkan kekesalannya pada Haji Masdar.

"Hei, menurutmu apa yang harus kulakukan pada orang tua ini?" Burhan bertanya pada salah seorang anak buahnya.

"Kita bunuh saja orang tua ini, Tuan."

"Ah, bukan itu tujuanku datang ke sini. Aku hanya ingin dia kembali berdagang denganku. Itu saja."

Sebuah tujuan yang sederhana, tetapi sulit untuk mewujudkannya. Burhan pun kembali memutar otak, dia bertanya-tanya kenapa dia sulit mengubah pendiriannya.

"Hahaha ... kau kehilangan akal, Burhan." Haji Masdar tertawa lepas.

Burhan menoleh ke arah pria tua yang sedang duduk di lantai.

"Akal ... Aku tahu kenapa kau bersikukuh dengan pendirianmu."

Burhan berjalan tergesa dan masuk ke dalam rumah. Dia membawa lampu tempel di meja kemudian mengarahkannya ke tumpukan buku koleksi si empunya rumah.

Burhan membuka lembar demi lembar buku-buku itu di atas meja tamu. Ah, tulisannya kebanyakan berbahasa Arab. Tapi, Burhan bukan orang yang tidak mengerti sama sekali Bahasa Arab. Dia membaca lembar demi lembar buku di hadapannya.

Anak buahnya yang sedari tadi berdiri menjaga rumah itu saling tatap. Mereka sulit mengerti apa yang dilakukan tuannya. Selama ini mereka tidak usah membuka buku untuk menghabisi nyawa manusia. Tapi, kali ini Burhan harus membuka bahan bacaan seseorang untuk mengetahui jalan pikirannya.

"Burhan, kau tidak akan menemukan apa-apa. Kau kebingungan ya? Aku tidak seperti raja-raja Jawa yang mau menjadi raja boneka Hindia Belanda. Itu kan yang kau inginkan? Makanya, kau tidak segera membunuhku."

Burhan hanya terdiam ketika Haji Masdar meracau.

"Aku tahu, kau tidak membunuhku karena Pemerintah tidak mau bersusah payah mengelola lahan yang begitu luas dengan tangannya sendiri. Terlalu mahal. Makanya, kau menginginkan aku mengelolanya ... kemudian menjual kepada kalian dengan harga murah ... Hah dasar penjajah licik!"

Burhan nampak frustasi. Dia membawa tumpukan buku itu ke pekarangan. Dilemparkannya benda itu ke dalam kobaran api. Byurrr ... Api semakin membesar.

Bau hangus mulai tercium. Tumpukan kayu dan tubuh manusia bercampur menjadi bahan bakar yang memicu lidah si jago merah menjilat-jilat ke atas. Burhan mulai tidak sanggup menyaksikan tumpukan mayat terbakar itu. Dia memalingkan wajah, melihat ke arah Haji Masdar.

"Lihatlah, mereka sudah hangus. Apakah kau benar-benar menginginkan ini semua?"

"Ya, aku berterima kasih padamu karena telah melebarkan jalan mereka ke surga."

"Brengsek!"

"Hahaha ... selama ini kau salah sangka. Kau kira aku akan mengikuti jalan pikiranmu. Tidak, aku tidak akan seperti mereka yang mengikuti jalan berpikir para penjajah."

"Baiklah kalau begitu, kita bawa dia ke penjara!"

"Atas tuduhan apa? Tuduhan makar? Ingat, kau bukan polisi yang bisa membawaku ke pengadilan."

Burhan terdiam.

"Tuan, saya punya usul," seorang anak buah Burhan memberanikan bicara.

"Apa?"

"Bagaimana kalau kita suruh warga pengikutnya untuk menghakiminya?"

"Maksudmu?"

"Begini Tuan, kita serahkan keputusan pada warga yang senantiasa menggarap sawahnya. Karena, jika orang tua ini mati pun bukankah warga yang akan menggarap sawah yang luas ini."

"Cerdas, aku setuju. Segera kumpulkan warga!"

Panca dan Tragedi Lumbung Padiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن