Aku dan Sekitarku

17 2 21
                                    

Berjalan tanpa tujuan. Hanya mengikuti ke mana arah kaki dan hati melangkah. Hal seperti ini sering aku lakukan setiap petang di hari Rabu. Tujuannya hanya satu, membunuh kebosanan lantaran waktu berjalan begitu pelan, juga kegetiran jika berada di rumah sendirian. Ah, andaikan aku bisa meminta hari kerja tanpa libur, pastinya aku tidak akan bingung. Di waktu seperti sekarang, tangan ini pasti bersemangat membawa nampan ke sana kemari. Membereskan tempat ketika pelanggan selesai, atau menerima omelan karena pesanan yang tak kunjung jadi. Hai, kuberi tahu satu hal, ya. Restoran tempatku bekerja adalah salah satu rumah makan terlaris di kota ini. Jadi, sabarlah sedikit.

Sudah agak lama berjalan dan kakiku pun mulai pegal. Bermacam-macam suara menyapa ketika aku sampai di alun-alun kota. Suasana malam ini begitu hidup. Apalagi keadaan di sekitar lumayan padat. Beberapa pasang duduk di bangku stan makanan. Beberapanya lagi memilih melihat-lihat barang yang didagangkan. Ah, ada pula sebuah keluarga yang sedang bermain di tengah lapangan. Aku memutuskan untuk duduk di bangku kosong dalam naungan pohon. Ada perbedaan besar yang langsung aku rasakan hanya dalam beberapa detik saja. Rasanya sepi, meski sekeliling begitu ramai. Apa karena sendiri? Berbanding terbalik dengan mereka yang berkunjung bersama orang lain?

Aku jadi penasaran bagaimana rasanya berlibur bersama keluarga. Apakah rasanya memang biasa saja, seperti sekarang, atau justru memberi kesenangan. Hal seperti ini tidak pernah aku dapatkan, mengingat sejak kecil aku hidup di dalam keluarga yang hobi berdebat dan berperang. Sudah lupakan saja. Bukan hal penting juga.

Aku pun memutuskan merogoh ponsel di saku celana. Beberapa pemberitahuan menghiasi layar. Ada panggilan dan pesan dari Arkan. Baru ingin memutuskan ‘tuk abai, nama pemuda itu muncul bersama ikon gagang telepon. Ya, mungkin harus kuangkat. Kasihan juga.

“Apa?” sapa pertamaku kala panggilan terhubung. Orang di seberang sepertinya kesal, terbukti dengan suara decak yang keluar.

“Ke mana lagi sekarang?”

Aku menghela napas. Sudah menduga akan mendapat pertanyaan seperti ini mengingat minggu yang lalu terlalu jauh berjalan, lalu tersesat. Akhirnya, mau tak mau, ya, aku harus menelepon Arkan. Kan dia satu-satunya teman.

“Nggak usah kuatir. Kali ini deket, kok,” jawabku yang dibalas dengan suara helaan napasnya.

“Di mana? Atau mau kuaduin cerita minggu lalu ke bunda?”

Aku melotot tanpa sadar. Kalau sampai bundanya tahu, bisa-bisa kebiasaanku ini bocor ke telinga bude. Ujungnya, aku akan dipanggil untuk tinggal bersama keluarga beliau.

“Jangan!” ucapku sedikit teriak. “Aku di alun-alun. Awas aja kalo bocor. Nggak usah temenan!”

“Ngapain di sa—”

“Jangan banyak tanya!” selaku galak. “Aku di sini cuma lima belas menit, habis itu jalan lagi.”

Lalu, telepon terputus secara sepihak. Jangan tanya siapa yang memutuskannya. Jelas akulah. Malas terlalu banyak berdebat.

Menit berlalu, tetapi Arkan belum datang. Lama sekali. Ya, bukannya berharap dapat tumpangan pulang, sih. Cuma sudah kebiasaan. Dia akan hadir jika tahu aku sendiri. Alasannya? Aku juga tidak paham. Kami hanya teman dari sekolah dasar hingga sekarang, lalu kebetulan bundanya dan ibuku dekat. Tidak ada hubungan lebih dari ini, seperti sahabat misalnya.

Waktu terus berputar. Aku masih menanti dengan sabar. Namun, ketika layar menunjukkan pukul delapan kurang, aku yang tadinya berniat beranjak akhirnya mengurungkan niat. Semuanya karena panggilan dari Arkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Seindah SenjaWhere stories live. Discover now