1. Worry

1.9K 66 1
                                    

Sepulang sekolah, aku dan Seli mengantarkan surat dari sekolah untuk Ali. Namun sesampainya di rumah Ali, kami hanya bisa sampai di depan rumahnya. Entah apa yang dilakukan si Biangkerok itu hingga tidak masuk berhari-hari. Aku dan Seli pun memutuskan untuk langsung pulang ke rumah.

Selama di angkot, aku dan Seli hanya membicarakan hal-hal tentang sekolah. Tentang pelajaran Bahasa Indonesia atau kekecewaan Seli karena Mr. Theo yang dikabarkan akan menikah.

"Hei, Ra. Kamu tuh sebenarnya memperhatikanku atau tidak sih?" protes Seli memelototiku.

"Ah? Iya. Aku perhatikan kok."

Seli menghela napas panjang. "Ini bukan Raib banget. Mulai tadi tuh kamu hanya menjawab dengan 'iya', 'he'em', 'oh', 'haha', 'iyasih'. Ragamu di sini, jiwamu entah ke mana." Lalu Seli menggenggam tanganku. "Ada apa, Ra? Cerita padaku."

Ah, sahabatku yang satu ini. Susah sekali aku menyembunyikan suatu apapun darinya.

"Tidak apa-apa, Sel. Mungkin aku kelelahan saja." Jawabku sambil tersenyum masam.

Seli mengernyitkan dahinya. "Baiklah jika kamu tidak ingin cerita. Em, mungkin, belum bisa cerita. Tapi apapun itu, aku siap mendengarkannya kok. Jangan dipendam sendiri. Ok?"

"Iya, Seli." Siapa yang tidak akan bersyukur bersahabat dengan Seli yang super pengertian ini?

"Maaf telah membuatmu khawatir," lanjutku.

Sesampainya di rumah aku menyapa Mama yang masih-selalu-berkutat dengan mesin cuci yang rusak dan langsung meminta izin untuk pergi menjenguk teman yang sakit. Setelah mendapat izin, splash, aku langsung berteleportasi ke dalam kamar dan mengganti pakaian serta membawa "buku matematika"ku. Mungkin saja aku butuhkan di saat genting.

Si Putih mengeong lembut di kakiku. Tapi aku tak ada waktu. Aku hanya tersenyum membalas si Putih. Setelah siap, aku turun dan berpamitan dengan Mama.

Tak ingin membuang waktu menunggu angkot atau ojek online, aku melakukan teleportasi dengan hati-hati agar tidak ada yang menyadari pergerakanku.

Splash, splash, splash.

Pikiranku makin tidak karuan dan mempercepat teleportasiku.

Splash.

Hingga sampailah aku di depan rumah megah yang entah bagaimana aku melihat adanya perbedaan dibanding tadi aku kemari bersama Seli.

Sejak tadi aku merasakan ada keanehan. Meskipun biasanya dia tidak mau diganggu atau malah bergegas menyuruh kami pulang. Setidaknya ia masih mau untuk kami temui. Bagaimana mungkin ia tidak mau ditemui oleh siapapun bahkan aku dan Seli?

Aku harus segera bertemu dengan Ali. Setidaknya, melihat rambut kusutnya saja mungkin aku sudah bisa sedikit lega.

Ali... Sedang apa kamu di basement sih?

Raib & Ali (Friendship, Love, and The Next Mission)Where stories live. Discover now