5. Kapan Punya Anak?

17.3K 800 4
                                    

Selain pintar memasak, Shanum juga pintar berakting. Di hadapan orang lain dia bisa memerankan sosok istri dan menantu yang baik. Orang lain akan mengira rumah tangganya sempurna dan utuh. Namun, hal itu hanya untuk menyembunyikan sisi lain dirinya sendiri.

Tak hanya Shanum. Di luar sana masih banyak orang yang berpura-pura baik. Kadang kita melihat seseorang yang ramah dan ceria malah sebenarnya merupakan seseorang yang paling menyedihkan di dunia.

Kadang orang yang terlihat baik-baik saja dari luar belum tentu bisa dikatakan baik-baik saja di dalam.

Begitu pun dengan Shanum. Meskipun dia seorang wanita sempurna dari keluarga terpandang, orang tuanya adalah pendiri perusahaan properti, pengembang real estate yang berbasis di Hong Kong. Hartanya lima kali lipat lebih banyak dari Sabda.

Tapi sayang di balik itu, dia juga menyimpan hal lain. Menikah dengan Sabda baginya merupakan sebuah bencana yang perlahan menghancurkan hidupnya.

***

Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika Sabda dan sang istri sampai di kediaman orang tuanya. Anggota keluarga itu berkumpul di ruang makan termasuk Sabda dan Shanum.

"Ingat, bersikap senatural mungkin. Jangan bersikap mencurigakan di hadapan orang tuaku," kata Sabda sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam ruangan besar yang sudah diisi separuh keluarga Sabda.

Sebenarnya tanpa diberitahu begitu pun Shanum sudah mengerti apa saja tugasnya. Tapi, lama-lama dia muak juga dengan semua skenario busuk Sabda.

Kedua orang tua pria itu tampaknya akan membicarakan suatu hal. Sabda yang duduk berdampingan dengan sang istri tampak acuh tak acuh, begitu pula sebaliknya.

"Mama seneng kalau kita semua berkumpul gini. Rumah Mama jadi ramai, biasanya 'kan sepi."

Sabda dan Shanum memenuhi undangan makan malam ini dan berkumpul di rumah atas permintaan mama mertuanya--Diana--beliau membuka obrolan sembari menyantap makan malam.

"Kalau ada si kecil di sini, mungkin rumah kita akan lebih lengkap lagi. Sudah empat tahun sejak kalian menikah, tapi belum ada tanda-tanda, ya? Jadi, kapan kamu akan memberi keluarga ini keturunan?"

Diana menatap Shanum, ada makna lain yang tersirat di wajah wanita itu. Diana adalah sosok ibu mertua yang baik, berbeda dengan anaknya yang seperti titisan Firaun. Shanum hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan mama mertuanya, dia juga bingung harus menjawab apa.

Tidak mungkin Shanum menjelaskan pada mereka kalau sampai saat ini dirinya masih perawan dan tidak pernah disentuh oleh Sabda.

"Tidak terasa pernikahan kalian sudah empat tahun, ya." Wiratama memalingkan wajahnya pada Sabda. "Dia yang menerimamu dalam kesederhanaan, layak dimuliakan dalam kebahagiaan. Dia yang menerimamu apa adanya, layak kau pertahankan selamanya. Dia yang sabar dengan kekuranganmu, layak mendapatkan semua keutamaan dari kelebihanmu."

Suara berat sang kepala keluarga bergema di ruangan tersebut. Sabda terdiam, pria itu hanya memandangi ayahnya dengan tatapan penolakan.

Shanum juga terdiam, menatap hidangan yang menumpuk di atas piringnya. Ucapan ayah mertuanya sangat lembut dan berwibawa, tapi tidak sesuai dengan kondisi rumah tangga yang sesungguhnya. Entah kenapa Shanum merasa begitu sedih.

Selera makan itu juga mendadak lenyap saat topik obrolan mulai menjurus pada masalah cucu.

"Sabda, apa selama ini kamu memperlakukan Mahira dengan baik?"

Baru saja Shanum membatin, suara papa mertuanya langsung terdengar, Mahira adalah panggilan khusus mereka pada menantunya.

Sejak pertama kali masuk ke dalam keluarga ini, mereka sekali pun tak pernah memperlakukan Shanum dengan buruk. Seperti seorang anak, begitu perasaannya saat berada di tengah keluarga Sabda. Perhatiannya sama seperti orang tua kandung.

"Tentu saja, dia kan istriku," jawab Sabda tenang.

"Sudah empat tahun kalian menikah. Kamu tahu sendiri, kalau Aksa Group perlu penerus, dan kamu itu putra sulung keluarga ini. Satu-satunya yang bisa papa andalkan," katanya.

Sabda menghela napas sudah dia duga, obrolan ini pasti tidak akan jauh-jauh dari masalah anak dan keturunan.

Sabda menjilat bibirnya sebelum akhirnya bersuara, "aku masih mampu mengurus perusahaan ini tanpa penerus, Pa. Kalau memang sangat perlu, suruh saja Prama pulang dan meneruskan perusahaan kita."

"Tapi kamu itu putra sulung di keluarga ini, Sabda!" potong sang Ayah. Nadanya naik sekitar dua oktaf. Ia marah ketika putranya lagi-lagi menyepelekan perintahnya.

"Memangnya kenapa jika aku putra sulung? Memindahtangankan perusahaan ke putra kedua dan seterusnya tak akan membuat perusahaan hancur, Pa."

"Sabda, jangan bersikap kasar pada papamu." Ibunya berusaha menjadi penengah.

Mata Sabda berkeliaran memandangi sekelilingnya seraya menghela napas, sebelum berhenti sejenak pada Shanum yang terlihat menunduk sembari memainkan jari tangannya yang lentik.

Diana menatap Shanum yang sedari tadi terdiam, beliau mengulurkan tangan untuk mengelus punggung tangan wanita itu dan berucap pelan.

"Kamu jangan anggapan ucapan orang-orang di rumah ini, ya."

Shanum tersenyum. Dirinya yang tidak kunjung memiliki anak, membuatnya merasa gagal sebagai seorang istri. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Sabda soal pernikahan ini, dia tidak pernah merasa khawatir tentang apa pun.

Shanum hanya berpikir, meskipun sangat ingin memiliki anak. Dia tak ingin anak itu terlahir tanpa ayah. Sabda memang ada. Namun, hatinya mati. Di hatinya tak ada Shanum di sana.

"Sudah-sudah, ini kan lagi makan malam, jangan ribut di depan rezeki," kata Diana. "Kapan rencananya mau berangkat liburan berdua?" tanya mama pada Shanum dan Sabda seraya mengaduk teh dalam cangkirnya.

Beliau berusaha untuk mengalihkan topik agar perdebatan antara ayah dan anak itu tidak terus berlanjut dan merusak acara makan malam mereka. Pembahasan lama itu mengambang lagi. Shanum menggigit bibir. Enggan bersuara.

"Jangan bikin alesan lagi banyak kerjaan. Mama ini gak mau dengernya."

Shanum melirik teh dalam cangkirnya. Sebelumnya, ia memang sudah merencanakan untuk pergi liburan sendiri. Namun, entah pastinya kapan, yang jelas Sabda tidak boleh ikut dengannya.

"Mama gak akan nyerah buat doain kalian, semoga kali ini Mahira hamil."

"Aamiin, makasih banyak, Mama."

Shanum menyunggingkan senyum, dia mengusap punggung tangan mamanya dengan lembut, mengaminkan harapan wanita yang sudah empat tahun ini dianggap sebagai ibu.

"Jangan lupa atur jadwal liburanmu, ya," kata beliau lagi.

"Baik, Ma. Mahira akan bicarakan ini dengan Mas Sabda." Shanum tersenyum getir, untuk saat ini mengalah adalah jalan terbaik. Mereka tidak tahu sebegitu sulitnya membicarkan hal tersebut bersama sang suami.

"Itu tidak akan terjadi."

Baru saja Diana hendak membuka suara, jawaban dari Sabda membuat seisi meja sontak menoleh ke arahnya.

Shanum sudah menduga bahwa Sabda pasti akan menolak usul sang ibu. Namun, telinganya langsung berdesing ketika Sabda mengatakan hal yang membuatnya terkejut.

"Aku tidak terlalu memikirkan keturunan. Bukankah sudah kubilang kalau Shanum belum juga hamil kita bisa adopsi anak?"

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now