7. Lepaskan Aku

17.8K 820 4
                                    

“Kok malah diam?”

Lamunan Sabda disentak sampai bubar jalan oleh pertanyaan kekasihnya setelah beberapa detik dia habiskan tanpa jawaban.

Sabda lupa kalau saat ini dia sedang makan berdua dengan Rania di salah satu restoran. Imbas dari keributan yang terjadi tadi pagi benar-benar membuat mood Sabda memburuk, terlebih ketika Shanum meminta Sabda untuk menghamili Rania saja supaya dirinya senang.

Shanum memang selalu tampak mengerikan dan nekat saat marah. Mungkin itulah kenapa mereka berdua bisa berjodoh.

“Di kantor sedang ada masalah, ya? Tumben Ma—“

“Nggak juga, Rania.” Sabda memotong ucapan Rania, dia merubah ekspresinya sebelum Rania berpikiran macam-macam.

“Terus gimana? Tumben ngajak sarapan bareng, biasanya Mas Sabda kan ngajak makan siang di jam istirahat.”

Yah, kalau saja istrinya yang keras kepala sejagat raya itu tidak membuat masalah pagi-pagi, dia tidak akan makan di luar seperti ini. Sabda hanya ingin menenangkan pikiran sebelum dia kembali bekerja. Bekerja dengan mood yang baik jelas tidak akan membuat semuanya selesai.

Belum lagi masalah dengan orang tua, mereka berharap Sabda segera memberikan keturunan, tapi mana mungkin bisa. Dia dan Shanum kelakuannya sudah seperti dua kucing liar yang memperebutkan wilayah.

Pria berusia 30 tahun itu meraih cangkir kopi di depannya dan menyeruputnya pelan. Enggan memikirkan hal yang sudah terjadi dalam rumah tangganya pagi ini.

Dulu, sebelum kenal Shanum dan Rania, Sabda suka berpikir, sepertinya dia ingin hidup sendirian saja. Bukan apa-apa. Dia sudah terlalu sering melihat orang-orang yang mengaku saling sayang sehingga merasa tidak bisa hidup tanpa satu sama lain, perasaan mereka berubah seiring dengan waktu yang berjalan.

Kemudian, kata-kata sayang itu mulai terganti oleh hubungan yang renggang, konflik, ucapan-ucapan kasar, lalu tindakan yang saling menyakiti.

Mungkin benar, dia baru saja mengalaminya sekarang.

“Mau aja, emang gak boleh, ya, kita makan berdua kayak gini? Nanti kalo Mas sudah sibuk, kamu kangen.”

Mendengar jawaban Sabda, Rania langsung terkekeh malu. “Bukan gak boleh, Mas. Mas belum mau pergi ke kantor? Nanti telat loh kalo masih nongkrong di sini.”

“Nanti saja, Rania. Emangnya kamu gak kangen sama Mas?” tanya Sabda sok perhatian.

“Ya, kangen.”

Mereka berdua saling bercanda, perlahan Sabda mulai lupa dengan pertengkarannya tadi pagi bersama sang istri. Mungkin benar, pria itu hanya butuh dihibur, dan Rania adalah gadis yang selalu bisa membuat mood-nya kembali membaik.


Pukul sebelas malam, Shanum baru saja bangun. Kerongkongannya kering menahan haus. Dia berjalan dengan tangan meraba sepanjang dinding mencari panel lampu, dan keluar setelah lampu menyala.

Shanum tidak kembali ke kamar begitu menyadari di luar hujan turun cukup deras. Sabda sudah menghubungi istrinya jam tujuh tadi bahwa dia akan pulang telat. Sebenarnya Sabda mau pulang seminggu kemudian pun, Shanum tidak peduli.

Usai mengambil minum di dapur, sekitar enam-tujuh langkah beranjak ke ruang tengah, langkahnya terhenti. Tatapan wanita itu tertuju pada siluet seseorang yang terlelap di sofa. Meringkuk serta menyembunyikan kepala di antara siku dan lengan. Shanum terkejut.

“Kapan pria ini pulang? Dia tidur di sofa semalaman?” Shanum bergumam seraya geleng-geleng kepala melihat wajah pulas suaminya.

Tertidur di sofa tanpa bantal, selimut, dan lupa menyalakan pemanas ruangan. Kulitnya pucat. Tubuhnya menggeliat karena menggigil. Alih-alih membangunkannya, Shanum membiarkan Sabda menetap di sana.

Kertas dokumen berceceran di sekitar laptop yang terbuka. Laptopnya dalam keadaan hibernasi, hanya lampu LED-nya yang menyala. Mungkin Sabda meresetnya sebagai efisiensi waktu. Karena jika dimatikan dia harus menunggu laptop menyala, membuka folder, dan mengeklik dua kali file. Sungguh merepotkan untuk orang sesibuk Sabda.

Layar ponselnya berkedip. Menandakan pesan baru masuk dari salah staf divisi perusahaan, serta terdapat notifikasi puluhan pesan dan belasan panggilan tak terjawab.

Beberapa hari terakhir Shanum memang melihat suaminya lebih sibuk. Sabda akan mengerjakan tugasnya di mana pun. Kadang wanita itu mulai bosan.

“Kamu bekerja cukup keras. Apa kamu gak lelah, Mas?” Seperti mendapat pukulan telak yang seolah bisa menghancurkan rongga dada. “Aku membencimu. Jangan membahas perihal anak lagi.”

Shanum segera beranjak ke kamar mengambil bantal dan selimut. Dia membetulkan letak posisi kepala Sabda, menyusupkan batal, lalu menyampirkan selimut di tubuhnya. Pria itu tidur lelap sekali tidak merasa terusik olehnya.

Jelas saja, setiap hari Sabda hanya tidur kurang dari empat jam. Shanum sering berpikir bahwa suaminya itu robot perusahaan. Enggan berhenti sampai baterainya habis. Entahlah, Shanum tidak tahu apakah pria itu benar-benar sibuk dengan perusahaan atau dengan Rania.

Selang beberapa detik kemudian irama napasnya berangsur-angsur teratur. Kemudian Shanum berjongkok di depan Sabda dan mengamati wajahnya. Sabda yang tengah tertidur begitu polos dan lucu, berbeda saat dia bangun dan mencari keributan.

Mengingat pertemuan pertama dengan pria itu membuat sudut bibirnya terangkat.

Suatu hari, ketika Shanum ikut pertemuan antar keluarga dengan rekan bisnis ayahnya, dia agak kepayahan mengambil buku bersampul biru yang letaknya ada di bagian atas rak. Menyadari bahwa tubuhnya pendek dan tidak mampu menjangkau buku tersebut, Sabda tiba-tiba datang dan mengambil buku di atas sana.

“Kenapa tidak minta bantuan seseorang untuk membantumu?”

Dalam berbagai kesempatan, dia adalah pria baik seperti tokoh negeri dongeng. Terdengar mustahil, tetapi 1000:1 akan selalu ada pria seperti itu.

Shanum sempat mengira Sabda adalah playboy yang suka mempermainkan hati perempuan. Tak bisa Shanum duga, orang tua mereka malah setuju untuk menjodohkan keduanya agar menciptakan hubungan bisnis yang kuat.

Hingga tibalah hari itu. Di malam hari, dua keluarga yang sudah cukup dekat karena ikatan bisnis tengah makan malam di salah satu restoran, ayah Sabda mengulangi pertanyaannya terdahulu.

“Kalian sangat dekat, menikahlah.”

Pernikahan ini untuk memperkuat ikatan bisnis, atau karena mereka memang saling cinta? Shanum sebenarnya tidak yakin. Dia mencari tahu tentang Sabda lebih dulu. Mereka berkenalan lebih dekat selama dua minggu. Selama itu dia berhasil menilai Sabda pria dewasa, kaku, dan tidak peka.

Meskipun begitu, Shanum menemukan apa yang dia inginkan darinya. Dia bertanggung jawab, bukan hanya pada istri, melainkan keluarga, pekerjaannya, bahkan lingkungannya. Shanum percaya jika teori jodoh memang sulit ditebak. Dia bisa datang di waktu yang tidak menguntungkan sekalipun.

Pokoknya bagi Shanum hari itu, Sabda seperti malaikat yang dikirim Tuhan.

Mengingat itu semua membuat Shanum tersenyum hingga matanya sedikit berkaca. Diangkatnya tangan itu mengelus rambut Sabda yang halus. Wajah damainya membuat hati tentram.

Shanum ingin sekali menangis begitu menatap wajah suaminya yang tertidur pulas tanpa beban. Terlihat lebih tenang daripada saat mereka berdebat. Sabda tidak merasa terusik dengan isakan lirih istrinya.

Akan tetapi, semua kenangan indah itu perlahan surut. Berganti dengan rasa sakit dan amarah yang sulit sekali dijelaskan. Apalagi untuk sekadar bertanya langsung pada Sabda.

Shanum kembali mengingat dustanya hari itu, hari di mana dia berkata bahwa telah menjalin hubungan dengan wanita lain, kembali batinnya dirundung perasaan kecewa. Lagi-lagi pertanyaan itulah yang muncul.

“Kenapa? Kenapa kau tidak mau melepaskanku?”

Surga yang Terabaikan (END)Where stories live. Discover now