Tapi namanya juga James-Luthfi, mau percaya atau gak percaya dengan becandaan Jin, dua orang ini emang selalu nempel terus.

"Wih keren, pinter dong." Puji James.

"Tadi gue juga bilang gitu. Prof. Kamal kan selektif banget, pasti maunya yang paling pinter dari yang terpinter." Ucap Luthfi kemudian. Kedua pipi Ine memerah.

James berdiri di samping Luthfi, "Tadi gue udah curiga kenapa lo pagi banget. Gue kira tadi ada yang jauh-jauh ke sini HEHEHE." James memukul punggung Luthfi. Begitu dekat dengan Dila, Luthfi langsung cerita dengan James, sahabatnya. Sejak itu, James selalu menanyakan keberadaan Dila karena ingin sekali bertemu dengannya secara langsung.

"Ngaco, udah pergi sana!" Luthfi ikut tertawa, tangannya mendorong tubuh James.

---

"Halooo, Ade Agil sehat? Iya? Huaduh beratnyaaa. Makan apa ini, Ma?" Luthfi mengangkat bayi pasien pertamanya di pagi itu. Ia kemudian mendudukkannya di atas meja periksa.

"WIH! Udah bisa duduk anak Dokter?" mata Luthfi melebar, kedua tangannya mengambang di kanan dan kiri pasiennya, sang bayi menunjukkan kebolehannya seimbang duduk.

Ibu pasien tertawa sambil membenarkan kain gendongannya, "Hahaha iya dr. Luthfi, Agil udah bisa duduk dari seminggu yang lalu"

"Aduh Dokter ketinggalan, terus terus udah bisa apa lagi ini?" Luthfi mulai mengeluarkan stetoskop macannya.

"Lumayan Dok, nambah bisa manggil 'nene' sekarang."

Luthfi memajukan bibirnya, stetoskopnya masih tergantung. Kedua tangannya diletakkan di pinggir tempat tidur, matanya disejajarkan dengan bayinya. Bayinya sendiri masih asik bermain dengan tangannya. "Dokter kapan? Panggil dong, 'dokter Luthfi', 'dokter Luthfi'"

"Kepanjangan kali, Dok" perawat di sebelahnya tertawa.

BUG.

Kaki gemuk Agil menendang dada Luthfi.

Mata Luthfi membulat. "Wah nendangnya udah kuat nih, bentar lari lari nih kayaknya, Ma!" Luthfi menggendong bayinya, menggelitikinya sampai bayinya tertawa.

Dari seluruh poliklinik anak, Luthfi paling senang praktik di poliklinik tumbuh kembang. Pasien di poli ini relatif lebih sedikit dibandingkan yang lain. Ditambah lagi, ada banyak mainan di dalamnya. Luthfi jadi bisa bermain dengan bayi-bayi dan anak-anaknya sepuasnya.

Selama praktik, senyum kotaknya tidak lepas dari wajah Luthfi. Setiap pasien yang datang langsung disapa dan digendongnya. Motto poliklinik Luthfi adalah: datang menangis, pulang tersenyum.

Sepanjang poli, pandangan Ine diam-diam dilemparkan pada Luthfi. Beberapa kali tangannya bersentuhan dengan Luthfi saat ikut membantu memeriksa pasien, entah pria itu sadar atau tidak. Setiap hal itu terjadi, hati Ine rasanya tidak tenang, jantungnya berdegup kencang, bahkan sesekali badannya menegang. Sulit sekali rasanya mengontrol dirinya.

Pembawaan Luthfi sangat memesona di mata Ine. Bukan hanya kepada pasien, bahkan kepada perawat dan orang tua pasien. Semua itu membuat Ine tidak sabar untuk berkunjung ke Poli Tumbuh Kembang setiap harinya. Bahkan, Ine dapat berubah bad mood ketika hari itu ia dipanggil Prof Kamal untuk magang di kantor Departemen anak, bukan di Poliklinik Tumbuh Kembang. Ya, karena kesempatan Ine untuk bersama Luthfi tentu saja jadi musnah.

---

"Emm, Dok" ucap Ine saat

---

--Chat Group 7--

James: panas ya

Jaka: iya panas

Jin: ape lagi ni

Hospitalship (extended stories)Where stories live. Discover now