06: Keluarga

82 24 3
                                    

Yuni terus menatap iba pada Hening. Sementara Hening sendiri sibuk makan keripik yang sebentar lagi akan stop produksi dengan wajahnya tersorot sinar handphone. Pelukan pada boneka beruang besar dipererat. Yuni menenggelamkan dagunya pada kepala si boneka. Di kamarnya sendiri ia merasa tidak nyaman. Bukan, bukan karena Hening berkunjung. Semua karena Hening terus terlihat baik-baik saja, padahal Yuni sudah ingin menangis sejak tadi.

"Ni, gue ke rumah lo, ya? Mau adain acara perpisahan sama keripik," kata Hening lewat telepon beberapa waktu lalu.

Benar saja, setibanya gadis itu di depan pintu rumah, sudah ada tiga plastik besar berisi makanan ringan yang bulan depan tidak akan diproduksi lagi di genggaman tangan. Yuni bertambah sedih. Snack favoritnya akan hilang mulai bulan depan. Ia melahap satu demi satu potongan sambil menahan tangis. Sepertinya ini efek pre-menstrual syndrome alias PMS.

Disebabkan oleh hormon FSH, atau LH? Atau mungkin bertambahnya sensitifitas ini dikarenakan hormon estrogen dan progesteron? Nanti biar Yuni cari tahu di buku dan internet.

Tanpa perlu Hening bicara, Yuni sudah tahu. Gadis itu datang bukan karena ingin perpisahan singkat dengan makanan ringan. Sesuatu pasti terjadi di rumah yang menyebabkan Hening kabur ke sini. Yuni tidak akan bertanya. Biarkan saja nanti Hening bercerita. Dia pasti akan bicara kalau mengizinkan Yuni untuk tahu masalahnya.

Yang bisa Yuni lakukan sekarang adalah ... menubruk Hening yang duduk tenang di ujung kasur, lalu memeluknya erat.

Walau reaksi pertamanya adalah "apaan, sih?" lalu berusaha melepaskan diri, Yuni tahu, Hening membutuhkannya. Meski air wajah yang direngkuh sudah semuram air sungai penuh sampah, Yuni tetap tidak mau melepas pelukannya.

"Hening best girl," ucapnya berulang kali.

Hening memutar mata.

Sudah biasa. Hening yang punya masalah sibuk main ponsel pintar, sementara Yuni menangis tersedu-sedu. Dari awal melihat wajahnya di kelas sepuluh, Hening sudah dapat menebak kalau Yuni itu mudah menangis. Ketika ia terpilih menjadi ketua kelas saja setitik air mata muncul di ujung garis mata. Mungkin dapat memenangkan persaingan ketat membuatnya terharu.

Tapi bagi Yuni, sifatnya yang satu ini adalah anugerah. Tertawa ketika senang, menangis ketika sedih. Bukan tetap datar tiap saat dan tak kenal sedih maupun senang. Karena ia percaya, emosi perlu untuk disalurkan. Sampah saja apabila ditumpuk terus-menerus akan mencemari lingkungan, begitu pula emosi buruk. Yuni merasa terkadang Hening perlu untuk menangis. Menangis tidak menandakan seseorang lemah. Air mata itu tidaklah buruk. Turunnya ia ikut meluruhkan segala beban berat dalam hati.

"Lo kenapa tiba-tiba nangis, sih? Basah nanti baju gue. Sana, ah!" omel Hening, mendorong bahu Yuni cukup kuat.

"Abisnya ...," Yuni meracau dengan mulut penuh makanan. "Doritiz enak banget, anjir, masa stop produksi, sih?" lanjutnya lalu menangis lagi.

Hening melengos. Ia menggerakkan bahu berkali-kali seolah sedang menghempas kuman membandel dari tubuhnya.

Yuni akhirnya mengangkat wajah. Dia menarik tangan yang semula melingkar, memblokir gerak tangan Hening. Air mata di ujung pipi dia usap perlahan. Terdengar suara sedotan ingus.

"Betewe, itu lo bawa apaan?" tanya Yuni, masih mengusap bekas air mata.

Hening melirik. "Tas gitar."

"Ooh ...," Yuni menanggapi, lalu menganggukkan kepala. "Isinya apaan?"

Hening benar-benar meliriknya tajam kala itu. Tanpa menoleh sama sekali. Membuatnya terlihat seram dua kali lipat dari biasa.

S [ayo ikut PO S!!!]Where stories live. Discover now