01: Kertas Penuh Rumus

199 44 5
                                    

Kata orang, Hening memiliki paras menawan menyilaukan mata. Hiperbola. Kata orang, Hening memiliki apa yang diinginkan perempuan di luar sana. Kata mereka, Hening memiliki mata teduh yang menyejukkan. Kalau kata Hening, Hening itu hampa.

Mata teduh? Bukan, itu mata malas tak semangat hidup. Lagipula, siapa yang masih bisa punya semangat hidup ketika berhadapan dengan matematika. Yang jelas bukan Hening.

Esok ada ulangan harian. Sekali baca pesan pada grup kelas, Hening dapat tahu itu. Seharusnya Yuni tidak perlu memberitahunya berulang kali lewat aplikasi chat. Karena sungguh, Hening bisa gila rasanya. Tiap notifikasi pesan yang muncul, selalu ada kata 'matematika' di dalamnya.

Ya, Hening paham. Teman dekatnya itu takut Hening tidak bisa melewati ujian hidup esok hari. Tapi tetap saja!

Lembar demi lembar kertas sudah dibolak-balik. Dari halaman 2 ke halaman 4. Halaman 4 ke halaman 2. Hening mendesah putus asa. Padahal yang sedaritadi dibukanya hanya bagian Daftar Isi.

Apa rumus untuk menyelesaikan soal pertama? Tidak tahu.

Bagaimana cara menyelesaikan soal kedua? Tidak tahu.

Apa yang Hening ketahui? Ia ingin tidur.

Hening mengacak rambut, pelampiasan dari segala frustasi. Angka-angka dalam buku seolah berubah menjadi not piano. Semua bergerak-gerak menari absurd di atas kertas putih. Kepalanya ingin pecah.

Hening menyerah, matematika menang. Buku ditutup, lalu melompat ringan ke atas kasur.

"Hitung kancing aja lah."

Lima menit tidurnya dihantui oleh wajah Yuni yang menerror. Kepalanya berputar-putar tepat di depan mata Hening. Itu bukan Yuni. Dia kerasukan guru matematika di sekolah. Mata sinis menyelidik itu tak pernah tidak membuat Hening merinding. Pilihan terakhirnya adalah bangun dan belajar.

_#_

Hening masuk kelas dengan kantung mata menemani. Yuni yang sudah tiba lebih awal, menyeletuk ringan.

"Roman-romannya ada yang abis ngambis, nih!"

Bak angin lalu, Hening acuh tak acuh pada suara nyaring itu. Yang penting sekarang adalah sampai ke mejanya dan melanjut tidur. Kalau ingin tahu, Hening baru dapat tidur pukul empat pagi tadi.

"Heh, mau ke mana?" Vokal tinggi campur terkejut Yuni menghentikan langkahnya.

Hening mendengus. Kepalanya masih berputar-putar. Satu langkah lagi, Hening dapat pingsan di tempat. Ingin duduk di kursi sendiri pun ada yang menghambat.

"Mulai hari ini 'kan duduk sesuai absen!" ucap Yuni berbarengan dengan tepukan di bahu Hening.

Hening mengangguk-angguk. Kepala menunduk dalam tanda energi tinggal lima persen dan butuh tidur secepatnya. Tangan melambai apatis memiliki dua makna. Satu, bilang kepada Yuni bahwa ia baik-baik saja. Yang kedua, gestur mengusir agar Yuni jauh-jauh darinya.

Ia berbalik arah. Berjalan satu-dua langkah, kemudian terdiam sesaat.

"Gue absen berapa, ya, Ni?"

Yuni langsung tertawa dan menampar keras lengan Hening.

_#_

"Lo semalem tidur jam berapa, sih? Ngantuk bener keliatannya."

Di dalam kelas pagi yang mulai ramai, Yuni terus bicara pada Hening yang sudah dalam perjalanan menuju alam mimpi. Setiap oceh Yuni hanya ditanggapi dehaman dan gestur tangan. Tubuh menelungkup itu sudah mirip seperti batu. Tidak apa, Yuni sudah berlatih bicara dengan tembok sebelum menghadapi Hening.

S [ayo ikut PO S!!!]Where stories live. Discover now