"Tapi, malam itu yang Yeonjun lihat bukan mereka berdua. Tapi, Soobin. Bagaimana bisa, Om menyimpulkan hal itu?"

"Kamu tidak ingat? Bukannya di saat terakhir Yeonji, adikmu pernah berkata bahwa bukan Soobinlah pelakunya. Kamu sendiri, 'kan yang menceritakannya tempo hari?"

"Tapi—"

"Jun, ingat kata-kata, Om tadi. Dunia ini penuh tipu muslihat."

"Kamu menyimpulkan bahwa si pelaku adalah yang tertangkap di indera penglihatanmu, malam itu. Bukan berarti, memang sebenarnya dia pelakunya."

"Jaman sekarang, aksi kejahatan makin licik. Semuanya bisa di lakukan, karna apapun yang mereka butuhkan sudah tersedia."

"Maksud, Om?"

"Kamu tahu kasus yang terjadi beberapa tahun silam? Ada seorang pengedar narkoba yang menyamar menjadi orang lain, untuk mengelabui aparat."

Yeonjun berpikir sejenak, sebelum akhirnya menggeleng. "Itu gak mungkin, Om."

"Yang kamu kira gak mungkin bisa jadi mungkin."

"Dan, Om rasa, kamu tahu apa yang sedang, Om bicarakan ..." Memberi jeda sejenak, sebelum kembali membuka suara, "... topeng silikon yang menyerupai seseorang."

"Si pelaku memakai topeng mirip si terduga, saat itu."

+×+

"Sesuai apa yang lo bilang. Dia ada di sana."

"Ya, gue juga tau. Oke."

Pria itu mengantongi benda pipih yang masih terhubung dengan panggilan itu pada saku celana. Berjalan memasuki cafe, menoleh ke kanan dan ke kiri, sebelum kakinya dia langkahkan ke arah seorang pria lainnya yang tengah duduk di sudut ruangan, sembari berkutat dengan laptop di depannya.

"Oi! Jae!" sapanya. "Boleh gue duduk di sini?"

Yang di tanya diam, tampak memperhatikan, sebelum akhirnya mempersilahkan.

"Widih, kesambet apaan, nih gue bisa ketemu, lo," celetuk Suho. "Gimana kabar?"

"Ya, yang lo liat sekarang," jawab pria yang di ketahui bernama Jaehyun itu.

"Lo sendiri?"

"Baik, juga."

"Bisnis lancar, nih," timpalnya.

Seorang pelayan datang, menghentikan pembicaraan mereka. Menanyakan pesanan lalu berlalu pergi dari sana.

"Ya gitu," jawab Jaehyun seadanya. "Lo? Masih jadi kepsek?"

"Ya, masih. Jabatan gue belum berakhir ini."

"Eh, iya. Gimana kabar anak dan istri lo?"

"Hyuna udah gak ada. Kalau anak gue baik, lo tau lah. Orang salah satu anak murid lo sendiri juga."

Suho membelalakkan matanya, nampak terkejut. "Maaf, gue gak bermaksud."

Jaehyun berdehem singkat. "Gak apa."

"Hyuna ... kapan?" tanya Suho ragu, takut pertanyaannya menyinggung.

"Udah lama, kurang lebih enam belas belas tahun yang lalu."

Suho menepuk pundak sahabat lamanya itu. "Gue turut berduka cita, ya."

"Tapi, kenapa lo gak cerita?"

Jaehyun menggaruk kecil kepalanya yang tak gatal. "Gue ... gue lupa," akunya.

"Enam belas tahun lo lupa?" Dan hanya di balas seulas senyum simpul oleh sang lawan bicara.

Suho tercengang, dia menghela napasnya. "Lo udah doyan ngebug, pelupa lagi. Astaga."

Lagi-lagi Jaehyun tersenyum simpul, tak berniat membalas.

Suho menggeleng kepalanya pelan, dia lalu menyeruput kopi pesanannya yang barusan tiba.

"Eh, iya. Mumpung ketemu, lo." Jaehyun mendongak, menatap si lawan bicara yang barusan menyeletuk.

"Tentang anak lo, Beomgyu." Pria itu menaruh cangkir di tangannya ke meja. "Gue perhatiin belakangan ini dia kayak orang ling lung. Lebih pendiem dari biasanya. Kadang juga gue jumpain dia lagi duduk sendiri sambil ngelamun," terangnya.

"Mungkin ada sesuatu yang ganggu dia. Mungkin aja lo tau."

"Sejak ... kapan?"

+×+

Susana di meja makan sangat canggung, tidak ada yang memulai pembicaraan dari keduanya. Hanya terdengar suara dentingan alat makan yang menjadi latar belakang.

Soobin melirik sang Ayah melalui ekor mata. Melihat pria paruhbaya itu yang tidak biasanya mau makan semeja dengannya.

Sebuah kejadian yang sangat langka dan aneh. Ya, memang pada dasarnya Ayahnya itu dari dulu tidak mau makan bersamanya, apalagi duduk berdekatan seperti ini.

Tapi, mau bagaimanapun dan demi apapun, Soobin rasanya ingin melompat-lompat kegirangan, namun, dia tahan. Bahagia, itulah yang di rasakannya sekarang.

Bahagianya memang sesederhana itu.

Lama diam, hingga akhirnya Soobin berniat membuka suaranya, "Ayah mau tambah-"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, sang Ayah bangkit, berlalu pergi dari sana menuju kamar pria paruhbaya itu.

Sang anak tersenyum simpul. Tidak apa, setidaknya dengan pria paruhbaya itu makan malam bersama, itu sudah lebih dari cukup baginya.

"Terima kasih, Yah," gumamnya, menatap sayu pintu berwarna hitam itu.


To Be Continued ...

[√] Can't You See Me? [END]Where stories live. Discover now