Pulang

3 2 1
                                    

"Aku pamit."

"Pamit? Mau kemana?"

"Pulang."

"Baru datang, masa mau pulang."

"Berhenti berpura-pura, Kayla. Aku tau ingatanmu telah kembali. Jadi untuk apa aku bertahan di sini, semua tidak ada artinya lagi."

Erlan berbalik, melangkah meninggalkan rumah Kayla. Namun, langkahnya terhenti di pekarangan. Ia menoleh, tak ada siapapun di sana. Padahal di hati kecilnya ia berharap Kayla mencegah kepergiannya.

Helaan napas terdengar jelas, ia menggerutu, merutuki dirinya, bodoh. Sudah jelas semua kesalahan ada pada dirinya. Dia yang memutuskan pergi tanpa pamit, menghilang tanpa jejak. Lalu tiba-tiba datang kembali berharap semua bisa diperbaiki. Sekarang, sudah bilang pamit, tapi hatinya masih di tinggal.

Kali ini, Erlan mantap pergi meninggalkan Kayla. Dia benar-benar melangkah meninggalkan pekarangan rumah.

"Erlan, tunggu!" Kayla berjalan terburu-buru, bahkan sedikit berlari untuk menghentikan Erlan.

Senyum erlan tersungging, hatinya seolah berbunga tiba-tiba, harapannya kembali. Namun, seketika itu juga ia jatuh, hatinya remuk, hancur begitu Kayla menyerahkan kotak liontin yang diberikannya kemarin. Juga kartu undangan bertuliskan nama Awan dan Kayla.

"Ini, jangan lupa dibaca baik-baik, ingat tanggalnya, dan sebaiknya kamu obati dulu luka-luka yang menghiasi wajahmu. Jangan sampai wajah tampanmu terlihat jelek di foto pernikahan nanti."

Erlan bergeming, tubuhnya terpaku hingga Kayla hilang dari pandangannya. Maksud hati berpamitan untuk pergi selamanya, tapi sepertinya gadis itu salah sangka.

"Kayla, aku pamit pulang ya. Jangan berharap nanti aku akan datang." Erlan berkata tanpa lawan bicara.

Rasa sesak di dada semakin menyeruak, dengan berat kakinya melangkah. Masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang belakang.

"Ayo pulang."

***

ErlanWhere stories live. Discover now