Kisah 35

3.1K 172 4
                                    

Akhirnya Fara sampai di tempat ini, tempat kemana seharusnya ia pergi. Ia rasa keputusannya tepat untuk pergi ke tempat ini, tiga hari setelah permintaannya untuk cerai dari Sabda yang tak di tanggapi oleh pria itu. Ia masih pergi bekerja, mengajak Fara mengobrol sebentar meski Fara tak pernah menghiraukannya seolah semuanya tak pernah terjadi. Bahkan permintaan Fara hanya bagai angin lalu saja.

Benar kata Melati, Fara hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Lalu setelah ini ia akan tetap melanjutkan langkahnya dengan Sabda ataupun tanpa Sabda karena kini ada nyawa lain yang ikut hidup bersamanya.

Fara menarik nafas dalam, menikmati pemandangan seindah ini memang bisa menenangkan fikirannya. Tiga hari setelah permintaan cerainya dengan Sabda, Fara memilih untuk terbang ke Bali. Tak ada alasan kuat, ia hanya ingin berlibur menenagkan dirinya dari segala hal pelik yang menimpa, juga melupakan kesedihan atas kehilangan Oma. Alih-alih menemui Felli dan menyuruhnya mengambil Sabda, Fara malah lari ke tempat ini.

"Pemandangannya bagus ya?"

Fara menoleh ke samping, seorang ibu-ibu setengah baya datang mengahampirinya.

Fara tersenyum lalu mengangguk.

"Saya gak pernah nyangka akan datang kesini sendirian, padahal seharusnya saya kesini bareng suami saya tapi takdir berkata lain tuhan lebih sayang dia." ibu-ibu itu mengambil tempat di sebelah Fara dan mulai bercerita tentangnya. Entah dari mana mulanya. Fara hanya tertegun mendengar bagaimana ia begitu mencintai suaminya, bahkan di detik-detik kematiannya. Suaminya masih sempat untuk mengatakan bahwa ia begitu beruntung memiliki istri seperti dirinya. Hati Fara bagai ditikam belati, seandainya semua berjalan baik, ia tidak mungkin datang sendirian kesini.

"Tapi saya merasa bukan dia yang beruntung, tapi saya. Saya beruntung memiliki suami yang baik seperti dia."

Fara menggenggam tangan wanita itu, menguatkannya. Mengatakan dengan sentuhan itu bahwa ia tidak sendirian.

🌼🌼

Hari demi hari terlewati disini, ia tinggal di sebuah vila kecil milik Oma. Dulu disini adalah markas persembunyian Fara dari orang luar yang selalu membandingkannya dengan Ocha, Ocha yang menikah lebih dulu, Ocha yang memiliki suami anggota dewan, Ocha yang memiliki anak yang lucu. Mungkin jika sekarang semua orang tau bahwa rumah tangga Fara diambang kehancuran mereka akan membandingkannya dengan rumah tangga Ocha.

"Mbak Naya hari ini mau di bikinin sarapan apa?" tanya Mbok Ami, asisten rumah tangga yang sudah menjaga vila ini selama bertahun-tahun.

"Gak usah deh Mbok, gak laper."

Mbok Ami kembali melanjutkan acara nontonnya, "Mbak Nay. Itu suaminya kan? Wah muncul di tv, keren banget."

Fara cepat-cepat melihat acara televisi yang di tunjuk Mbok Ami, disana memang ada Sabda yang sedang di wawancarai oleh beberapa wartawan. Dari penampilannya Sabda terlihat baik-baik saja, ia samasekali tak menghawatirkan Fara. Ia masih senyum seperti biasa, bahkan berpenampilan keren seperti biasa. Tak taukah Sabda jika Fara merindukannya disini, apa disini hanya Fara yang hancur? Sementara Sabda bisa tetap bekerja dengan baik disana?

"Keren banget Mas Sabda bisa tampil di tv. Ganteng lagi."

Fara tak mengiraukan perkataan Mbok Ami, ia beranjak ke taman belakang. Lalu menelfon Melati.

"Hallo, dengan Melati cantik disini? Siapa ni?"

"Lo udah temenan sama gue berapa tahun sih?"

"Ooohhhh. Hallo bumil. Akhirnya lo beli hape juga."

Fara menghembuskan nafas lelah.

"Kenapa sih lo? Abis liat suami lo ya di tv? Dia sering banget sekarang ke kantor. Mukanya kusut banget, Nay. Beberapa hari lalu gue juga liat dia kemakam Oma, dia nangis disana. Gue gak tega liatnya Nay."

Fara tak berkomentar apapun. Ia mulai terisak, isakan yang jika siapapun yang mendengarnya akan beranggapan itu tangisan penyesalan. Kenapa Fara yanh harusnya menyesal, harusnya Sabda yang begitu.

🌼🌼

"Mel, tolong kasih tau gue dimana Naya sekarang?" tanya Sabda frustasi.

"Ck, lo suaminya Naya bukan sih? Kok gue yang lebih tau Naya dibandingkan lo?"

Melati mulai jenuh, masalahnya ini bukan pertamakalinya Sabda kesini dan bertanya tentang hal itu.

"Mel kasih tau gue sekali aja, gue mau minta maaf sama Naya. Gue ngerasa bersalah banget."

Melati tersenyum masam, "waktu lo ajak Naya kedalam pusaran masalah lo, lo pernah mikir gak kalau dia akan sesakit ini?"

"Emang gak punya pikiran lo. Gila lo, tau gak!" Melati pergi meninggalkan Sabda sendiri.

Namun sebelum ia benar-benar pergi perkataan Melati seolah membuat seluruh organ Sabda berhenti bekerja.

"Naya lagi hamil anak lo. Selesaikan masalah lo, kalau lo masih mau ketemu dia dan anak lo."

Sabda menangis tergugu, ini sekian kalinya ia menagisi keadaanya bersama Fara. Ia tak pernah menyangka akan sepelik ini.

Beberapa hari ini Felli tak pernah lagi kumat, ia harus secepatnya menyelesaikan masalah ini. Lalu bertemu Fara dan calon anak mereka.

Sabda berjongkok di depan gundukan tanah bertuliskan nama Oma, ia kembali mengakui kesalahannya. Berkali-kali meminta maaf pada Oma, mengatakannya dengan tergugu di depan makamnya seolah wanita tua itu sedang ada disana dan mendengarkannya.

"Aku gagal jagain cucu Oma. Aku minta maaf Oma."

Felli sedang duduk-duduk di taman belakang rumah sakit, ia berharap hari ini Sabda datang membawakan bunga lily kesukaanya.

"Fe?"

"Kak Sabda?"

Felli menghambur dalam pelukan Sabda, namun hari ini tak ada balasan. Hanya Felli sendiri yang senang akan keadaan ini sementara Sabda laki-laki itu hanya bergeming di tempatnya tanpa membalas pelukan Felli, ia sadar hal itu namun ia sedang berpura-pura.

"Fe.."

"Kakak kok lama sih?"

"Fe.."

"Padahal aku kangen lho sama Kakak."

"Fe dengerin aku dulu!"

Felli menunduk setelah mendengar Sabda membentaknya, ini pertamakalinya pria itu berteriak padanya.

"Kenapa Kakak jahat?"

"Fe, Kakak harus kasih tau ini. Kakak udah punya istri Fe, apa yang di bilang sama Jessica dulu itu bener. Kakak gak bilang ini karena Kakak tau kamu akan kayak gini."

Felli menangis kencang, ia histeris. Berteriak seperti orang kesetanan. Ia memukul-mukul Sabda, lalu  berteriak ke arahnya. Suster dan dokter membawa Felli masuk lalu menyuntikkan obat penenang untuknya.

"Lo gila ya?!"

Sabda memejamkan matanya, "Gue gak mau kehilangan Naya!"

"Tapi lo korbanin Felli? Lo gila Sab!"

"Dari awal ini semua ide lo! Lo yang suruh gue buat jangan kasih tau Felli tentang semuanya."

"Karena bahaya buat kondisi kejiwaanya. Lo kan tau itu."

"Gue capek terus merasa bersalah kayak gini Jes, pelakunya memang bokap gue. Tapi dia udah mati Jes, kenapa gue harus nanggung akibatnya kayak gini?"

Jessica menggeleng frustasi, kenapa semuanya menjadi serumit ini. Ia menginginkan Sabda lebih dari apapun tapi bukan begini ia ingin akhirnya.

🌼🌼🌼


Hoho?? Next gk nii???

Mingdep ya???

Unknown Location [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang