Lukisan Ketujuh Belas

600 123 35
                                    

Maaf ya, maminya kelupaan , keasikan ngobrol sama Tante Aura hahah
Silakan malam minggunya~

[Lukisan Jingga di Angkasa]
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kennard sampai di depan ruang ICU dengan napas terengah-engah. Ia mendorong pintu, tapi tidak bisa karena terkunci. Kennard memaksakan tenaganya, menggedor-gedor pintu ruang ICU. Beruntung seseorang keluar dari ruangan itu dan mencegah Kennard yang hampir merusak pintu.

"Rin ... Anka ..." Pertanyaan yang Kennard tumpuk tidak bisa terucap saking paniknya. Erin harus menahan tubuh Kennard dengan pelukan ringan agar kekasihnya itu tidak memaksa masuk.

"Shh ... Ken, tenang dulu." Gertak Erin, membuat Kennard melemaskan bahunya. Erin bahkan harus menangkup wajah sang kekasih dan menatapnya lamat-lamat. "Ken, lihat aku. Tarik napas perlahan. Pejamkan matamu sejenak. Kamu harus tenang." Ucapan itu berubah menjadi lembut dan membuat Kennard mereda emosinya.

Saat membuka mata, Kennard tetap mendongak, mencari presensi Anka dari balik kaca ruang ICU. Anka di sana. Terbaring dengan kabel menempel di tubuhnya dan masker oksigen menutupi wajahnya. Alat-alat di samping Anka mengeluarkan bunyi yang tidak menyenangkan. Kennard tidak mengerti arti dari angka-angka yang ditunjukkan alat-alat itu, tapi ia tahu hal itu

"Anka ..." Tangan Kennard bergetar. " ... akan baik-baik saja kan, Rin?" lirihnya. Erin menggigit bibir, lalu mengangguk. "Pasti. Anka pasti baik-baik saja. Kita harus tenang. Percaya pada Anka ya, sayang." Erin mengusap pipi Kennard. Hatinya tak kalah terguncang. Melihat pasien dengan kondisi paling buruk sekali pun tidak membuatnya terbiasa untuk melihat Anka seperti ini. Kejadiannya terlalu cepat. Ia hanya meninggalkan Anka tanpa pengawasan langsung beberapa jam saja. Karena urusan pekerjaan. Namun yang terjadi di luar dugaannya.

Beberapa jam berlalu dan Kennard masih setia di depan ruang ICU. Ia belum diperbolehkan masuk sampai akhirnya Kennard merasa muak harus menunggu. "Biarkan aku masuk. Aku pamannya. Aku berhak tahu kondisinya."

Seorang perawat dengan gaun medis dan sarung tangan yang baru saja ke luar mengembuskan napas pasrah. Dengan sabar, perawat itu memberikan pengertian pada Kennard yang sudah seperti seperti orang hilang akal. Kemejanya sudah tidak lagi tertata rapi, lengan kemejanya sudah digulung sampai siku. Rambutnya acak-acakan karena berkali-kali ia tarik saking frustrasinya. Kennard memarahi si perawat, bersikeras untuk masuk hingga akhirnya dua dokter dan satu perawat lainnya keluar dari ruangan. Bersamaan dengan Erin.

"Dokter, bagaimana? Aku sudah boleh masuk? Aku adalah pamannya. Paman kandungnya. Seharusnya aku diperbolehkan masuk kan? Aku adalah wali resminya.Sebentar lagi pun aku akan jadi ayahnya. Jadi izinkan aku masuk sekarang." Kennard mengguncang lengan dokter pria yang masih lengkap dengan alat pelindung medis. Sang dokter menghela napas panjang sambil membuka masker. Ia tersenyum tipis, menunjukkan tatapan prihatin pada Kennard. Sedangkan Erin memalingkan wajah, tidak sanggup melihat wajah kekasihnya yang begitu kacau.

"Anda wali dari pasien Anka?" tanya sang dokter, membuat Kennard mengangguk mantap. "Anka bisa dijenguk, tapi beberapa jam lagi ya. Kondisinya masih perlu dipantau. Ada benturan keras di sekujur tubuhnya dan mengingat dirinya adalah pengidap penyakit lupus, benturan itu menyebabkan hal yang bisa dibilang ..." Sang dokter mengembuskan napas pelan. " ... sedikit buruk."

Penjelasan itu tidak meredakan kepanikan Kennard dan semakin membuat Kennard ingin menerobos masuk. Namun dengan cepat dokter pria itu mengalihkan perhatian Kennard dengan pertanyaan lain. "Apakah Anda kenal dengan satu pasien lagi yang berada di dalam?"

Kennard mengernyit bingung, menatap penuh tanya pada Erin yang hanya bisa menelan ludah dengan susah payah. "Di dalam ada satu pasien lagi, kondisinya jauh lebih buruk dari Anka. Kepalanya terbentur sangat keras. Tulang bahunya bergeser dan ada tiga tulang rusuk yang patah. Beruntung tulang rusuknya tidak mengenai paru-paru. Trauma yang dialaminya sangat besar. Kalau dia tidak sadar dalam waktu dua puluh empat jam, maka dia dinyatakan koma." Setelah menjelaskan hal itu, sang dokter hanya berpesan untuk menyampaikan pada siapa saja yang menjadi wali pasien tersebut untuk menemui dokter.

Lukisan Jingga Di Angkasaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن