Lukisan Ketiga

975 169 25
                                    


[Lukisan Jingga di Angkasa]

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

Seorang dokter wanita melangkah santai menuju ruang UGD sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. "Sudah cari ke sekolah?" tanyanya pada lawan bicara di telepon. Sesekali ia menjawab dengan gumaman. Lalu, menghela napas panjang sebelum membalas ucapan dari seberang sana.

"Hampir dua puluh empat jam menghilang. Lapor polisi saja. Jam tugasku sedikit lagi selesai. Nanti aku ke rumahmu atau menyusul ke kantor polisi?"

Hening sejenak, lalu dokter itu bergumam lagi hingga akhirnya menutup pembicaraan. Kemudian, ia melangkah lebih cepat hingga ke UGD. Berniat memeriksa dokter dan perawat yang sedang bertugas di sana.

"Kudengar ada pasien yang langsung dirujuk ke spesialis syaraf? Siapa namanya?" tanya dokter wanita itu sambil menengadahkan tangan. Tanpa kata, perawat yang berjaga sudah tahu apa yang diminta. Papan rekam medis pasien yang dibicarakan sang dokter.

"Maaf, Dokter Erina. Tadi Dokter Lira yang memutuskan rujukan itu." Ujar salah satu perawat. Erin memindai data rekam medis dan mengetuk papan itu dua kali, lalu menyodorkannya kembali pada si perawat. "Tidak ke spesialis syaraf ya, tapi ke penyakit dalam. Lagipula, harusnya Dokter Lira bisa lebih jeli lagi dalam melakukan diagnosis. Jangan sembarang merujuk pasien begitu." Nada Erin terdengar biasa, tapi bagi perawat-perawat yang berjaga, ucapan Erin terdengar menegangkan. Erin tidak suka meluapkan kekesalan, tapi semua perawat atau dokter yang bekerja di sekitarnya tahu betul bagaimana Erin jika hatinya sedang dalam keadaan tidak baik.

Saat Erin masih sibuk memerika data pasien, terdengar suara panik seorang pria memanggil-manggil petugas untuk menangani seseorang yang ia bawa di punggungnya.

"Tolong! Bisa carikan dokter untuk menangani dia?" tanya sang pria yang memohon pada salah satu perawat. Pria itu diikuti oleh seorang remaja laki-laki yang sejak tadi menahan tubuh seseorang yang digendong itu.

Beberapa perawat di UGD bergegas untuk membantu bersama salah satu dokter. Erin sempat tidak menggubris karena masih konsentrasi dengan data pasien. Lagipula, suasana panik yang tercipta di ruang UGD sudah menjadi makanan sehari-hari dan tidak begitu menarik perhatiannya. Meskipun begitu, setelah selesai melakukan pengecekan, Erin tergerak untuk mengintip sedikit pada kehebohan yang sedang terjadi. Kebetulan hanya ada satu pasien yang baru masuk UGD.

"Suhunya tinggi. Wajahnya memerah dan ada ruam di lipatan lengan dan pergelangan tangannya." Jelas salah satu perawat, memberikan informasi kepada dokter yang akan menangani.

Erin mengernyit, memperhatikan pasien yang tertutup oleh petugas medis dan dua orang yang mengantarnya tadi. "Eum ... maaf, Bapak, Adik, bisa tunggu di luar sebentar? Pasien perlu ditangani dulu." Titah Erin, yang ditanggapi dengan anggukan oleh kedua orang itu.

Kini Erin bisa melihat jelas pasien yang sedang ditangani. Matanya membelalak dan bibirnya terpisah, tidak percaya. Ia segera merogoh saku jas putihnya dan menghubungi seseorang yang baru saja berbicara dengannya melalui telepon.

"Ken, tidak perlu lapor polisi. Kita menemukan Anka." Ujar sang dokter.

***

Erin masuk ke ruang rawat sambil membawa kopi hangat yang ia bawa dari kafetaria. Ia menyentuh bahu Kennard, membuat pria itu terkesiap setelah sedari tadi tertunduk dengan tangan menopang kepala.

"Sudah baik-baik saja. Sejauh ini, hanya demam. Sudah diberi penurun panas. Kamu tidak usah terlalu cemas lagi. Anka sudah kembali kan?" ujar Erin sambil memegang tangan Kennard.

Lukisan Jingga Di AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang