Lukisan Ketujuh

895 153 14
                                    

Shhh... Anka baru bangun.

[Lukisan Jingga di Angkasa]

.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

"Terima kasih banyak ya, Pak Dewa. Maaf karena sudah merepotkan." Ujar Erin sambil membungkuk sedikit, membuat Dewa jadi merasa tidak enak hati.

"Tidak usah sungkan, Dokter. Lagipula, Anka kan sedang berada di rumah saya. Jadi, artinya Anka jadi tanggung jawab saya juga." Balas Dewa, tak melepas senyum.

Sesaat kemudian, Kennard muncul dari balik pintu dengan napas terengah. Matanya memandang sinis pada Dewa. "Aku tidak pernah mengizinkan Anka untuk menginap. Lihat, apa yang terjadi sekarang kalau tidak mematuhi apa yang aku katakan." Omel Kennard sambil melangkah ke arah Anka. Erin mencengkeram lengan baju sang kekasih, lalu melemparkan tatapan yang jauh lebih garang. Ia sedang memperingatkan Kennard untuk tidak meluapkan emosi sembarangan.

Tanpa perlu kata-kata, Erin berhasil membuat emosi Kennard mereda. "Jaga sopan-santun di depan orang yang sudah menyelematkan Anka. Mereka berlari panik ke sini dengan menggendong Anka, tahu?" bisik Erin, tapi tetap saja bisa didengar jelas oleh Dewa dan Diksa.

Kennard merasa bersalah, tapi tetap pada gengsinya. Ia berdeham kikuk. "Terima kasih sudah membawa Anka. Kalian boleh pulang sekarang." Usir Kennard. Namun Dewa tidak merasa tersinggung dan tetap tersenyum ramah pada Erin yang memandangnya dengan tatapan tidak enak hati.

"Aku dan anakku permisi dulu. Kalau Anka masih dirawat di sini, besok mungkin kami akan datang menjenguk." Ujar Dewa, sambil menarik tangan anaknya.

"Tunggu." Panggil Erin.

"Boleh Diksa tinggal di sini sebentar untuk menemani Anka,Pak? Kasihan Anka kalau terbangun dan sendirian. Aku perlu bicara dengan pamannya sebentar. Kurasa sebentar lagi Anka akan bangun karena panasnya sudah turun. Aku akan mengantarkan Diksa pulang ke rumah nanti sore. Bagaimana, Pak?"

Sebenarnya, Dewa tidak terlalu rela meninggalkan anaknya sendirian. Apalagi setelah melihat sikap Kennard yang kurang ramah, Dewa merasa tidak begitu aman meninggalkan Diksa. Namun Diksa menunjukkan wajah memelas seperti kucing yang meminta makan dan akhirnya membuat Dewa mengembuskan napas pasrah. "Baiklah. Tidak apa-apa, Dokter. Nanti kalau sudah selesai, Diksa bisa meneleponku. Tidak usah repot-repot diantarkan karena aku yang akan menjemput."

Diksa berseru riang dalam hati. Ia hanya bisa menahan senyum saking senangnya atas izin yang diberikan itu.

Tak sampai sepuluh menit setelah ditinggalkan oleh orang-orang dewasa itu, Anka terbangun. Sesuai prediksi Erin, Anka senang sekali karena langsung melihat Diksa saat terbangun.

"Eh, jangan duduk dulu loh. Nanti kamu makin pusing. Sudah baring saja. Kan tetap bisa mengobrol sambil baring." Tukas Diksa sambil mendorong pelan bahu Anka. Si pasien kesayangan Erin ini berusaha untuk bangkit sesaat setelah membuka mata. Akhirnya, Anka meminta Diksa untuk memutar tuas di samping brankar agar kepala Anka bisa terangkat sedikit.

"Kamu tidak pulang?" tanya Anka dengan bibir pucat dan mata sayunya. Diksa menggeleng sambil menatap layar ponselnya dengan serius. Anka mendengus karena hanya ditanggapi begitu. Ia mendorong lehernya dan mengintip apa yang sedang menjadi perhatian Diksa.

"Main apa sih?"

"Game." Sahut Diksa singkat.

"Game apa?"

Lukisan Jingga Di AngkasaWhere stories live. Discover now