18. Kamu yang dulu, bukanlah yang sekarang

1.3K 214 50
                                    

"Dylan! Kamu ke mana aja? Kenapa aku ditinggal sendiri. Kamu tahu aku banyak gak tahunya. Gimana kalau aku gak bisa pulang. Enggak bukan itu, aku takut gak bisa ketemu kamu lagi." Tiffany memukuli tubuh Dylano, menarik kerah kaosnya. Lalu memeluk pria itu dengan erat.

Tadinya tidak ingin menangis. Meski diujung, akhirnya air mata menetes. Betapa keras dia meraung ketakutan hingga suara ombak pun kalah.

"Tadi aku cari ini. Kamu suka minum susu coklat," jawab Dylano. Meski dia merasa bersalah, lelaki itu lega karena menemukan Tiffany.

Begitu Dylano kembali, Tiffany tidak ada di tempat semula. Mereka saling mencari. Hingga ada titik temu, di mana Dylano melihat Tiffany lebih dulu.

Tangan Tiffany memegang kening. "Ya ampun, cuman karena ini. Kamu bikin aku syok. Aku liat orang berantem tadi. Aku pikir kamu."

Dylano usap air mata Tiffany. "Aku udah janji gak pukulin orang tanpa alesan lagi. Kamu yang bilang, kan? Kita mau menua bersama. Jadi aku jangan mati duluan karena sering marah." Dylano berikan kecupan manis di kening Tiffany.

Kini rasanya itu seperti ramalan kehidupan mereka di masa depan. Ketika mereka berdua terpisah hingga tidak tahu kabar, Dylano menemukan kembali Tiffany di New York, hanya karena sebuah topi dan kertas harapan.

Tiffany turun dari tempat tidur. Dia pergi ke walking closet dan mencari kotak kaca di mana benda bersejarah pasangan ini berada. Dari buku berisi puisi, hingga kertas harapan di Time Square.

"Kangen," ucap Tiffany. Kadang dia berharap diberikan waktu untuk mengulang semua saat itu. Kenangannya, bersama pria yang menjadi impian.

Alarm berbunyi tepat di waktu Subuh. Dylano membuka mata. Dia turun dari tempat tidur dan menemukan sang istri duduk di kursi kerja. Tiffany tertidur dengan keadaan duduk tegak. Kepalanya bersandar ke sandaran kursi.

"Kamu bisa sakit leher kalau begini." Dylano tahan leher wanita itu dan menggendong ke tempat tidur. Dia akan pergi mandi duluan, baru membangunkan Tiffany.

Sebelum itu, Dylano rapikan meja kerja di kamar. Tiffany membuat banyak gambar dan tulisan. Dia seperti tengah mengingat banyak momentum dan menuliskan dalam tabel.

Pria itu berbalik dan melirik ke arah sang istri. "Mungkin hanya kita yang ingin terpenjara dalam ingatan masa lalu? Benar?"

Waktu sarapan menjadi tempat di mana keluarga itu bersama di meja yang sama. "Bagaimana dengan pelajara kemarin di sekolah?" tanya Dylano pada putranya.

Tiffany berdeham. "Dia masih anak TK. Kamu gunakan bahasa yang tepat, Suamiku. Chris, kamu main apa di sekolah kemarin?" Tiffany menunjuk seperti apa ekspresi yang cocok saat bertanya pada anak-anak.

"Menyenangkan. Kami membuat makan siang sendiri," jawab Chris.

"Terdengar luar biasa. Apa itu mudah?" Tiffany kembali mengeluarkan pernyataan.

"Iya. Aku tidak sabar ingin melakukannya lagi, Ma. Boleh nanti aku memasak sendiri?" Seperti biasa Chris selalu bicara sopan.

"Tentu. Lain kali, kita akan masak berdua. Papa kalau sibuk, tidak usah diajak."

Dylano mengedipkan mata. "Kapan? Aku akan meluangkan waktu. Apa itu masak sayur lodeh?"

"Kamu kenapa gak ada bosannya sih?" Tiffany terkekeh.

"Itu enak. Apalagi pakai tempe dan daun melinjo yang banyak." Dylano menunjukkan jempol.

Tiffany menggelengkan kepala. "Itu harinya Chris. Jadi biar dia yang tentukan, benar?" Tangan Tiffany mengusap kepala anak itu.

"Aku sangat menghargainya, Mama."

Kali ini Dylano dan Tiffany akan datang ke sekolah Chris. Mereka tengah mengadakan pertemuan antar orang tua. Tidak semua yang hadir, hanya keluarga tertentu saja.

Acaranya di aula yang tertutup dari luar. Hadir dengan dresscode black tie optional, mereka kembali menjadi pusat perhatian. Chris duduk berbaris dengan anak khusus lain. Dia mengenakan jubah kebesaran sekolah.

"Ini pertemuan orang tua, apa acara nikahan?" tanya Tiffany sambil berbisik.

"Erika sudah menjelaskan padamu?"

"Iya. Hanya tidak seperti ini bayanganku." Tiffany merangkul lengan suaminya. Dia tersenyum pada orang yang menyapa.

Sesekali Tiffany melirik pada Chris. Anak itu duduk dengan gagah. Sungguh meski badan mereka kecil dan mungil, anak-anak TK itu terlihat seperti sudah dewasa. Mereka sangat paham manner hingga terlihat duduk diam.

"Tuan Khani, senang bertemu dengan Anda. Rasanya seperti aku diberkati," ucap seseorang yang datang menyapa. Tiffany mengingat wajah yang ada di daftar.

"Saya pun sama, Tuan Western. Perkenalkan, Nyonya Tiffany Khani." Dylano menunjukkan istrinya.

"Goddess. Madam Tiffany yang terkenal itu." Dia menunduk di depan Tiffany.

Rasanya Tiffany paham, pria di depannya tengah membahas postingan media sosial Dylano.

"Terimakasih banyak. Saya sangat menghargai pujian Anda. Suami saya memang suka memuji berlebihan. Itu saya syukuri karena wujud cintanya pada saya." Tiffany menanggapi dengan santai meski dia paham tadi tengah disindir.

"Kecantikan seorang istri akan berbeda di depan mata suaminya dan orang lain. Jadi itu tidak berlebihan menurutku." Dylano pegang tangan Tiffany.

Entah apa yang akan Tiffany hadapi di acara ini. Yang jelas penolakan akan keberadaannya di sini begitu terasa. "Apa karena aku ibu tirinya Chris?" batin Tiffany.

 "Apa karena aku ibu tirinya Chris?" batin Tiffany

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
My Chairman HusbandWhere stories live. Discover now