Explode

790 52 14
                                    

Bobby tiba hampir setengah jam kemudian.
Selama itu pula ia gelisah dengan kenyataan Anta bahkan tidak mau dibawakan apapun walau hanya sekedar makan malam, atau cemilan seperti biasa.

Takut?

Jangan ditanya.

Sumpah mati Bobby takut sekali.

Walau Bobby yakin ia tidak melakukan kesalahan apapun terhadap Anta, bahkan kepalanya sudah sangat pusing sekarang karena berusaha sekali mengingat apa kesalahan yang mungkin telah diperbuatnya dengan tanpa sadar.
Mungkin dia saja yang tidak peka telah berbuat sesuatu yang tidak berkenan.

Bobby sudah berdiri didepan pintu unit Anta, langsung refleks menekan beberapa digit yang merupakan rangkaian angka dari namanya itu dengan sangat lancar, karena tentu saja Bobby sudah menghapalnya diluar kepala.

Gelap.

" 'Ntaaa...?"

Tidak ada satu lampu pun yang menyala.

Sama sekali.

Alih-alih menghubungi Anta, karena bisa saja laki-laki itu sedang keluar sebentar membeli suatu kebutuhan yang mendesak di mini market dekat sini, Bobby malah melangkahkan kedua kakinya menuju kamar utama, setelah menghidupkan lampu meja yang berada di atas nakas ruang tamu.

Tetap sambil merapal do'a bahwa tidak akan ada yang berubah setelah Anta bicara mengenai apapun yang ingin laki-laki itu bicarakan kepadanya.

Karena kalau iya, Bobby tidak tahu akan bagaimana dirinya hidup setelah ini.

Karena sebenarnya, di dalam hubungan mereka, bukan tentang Anta yang membutuhkan Bobby.

Tapi sebaliknya...

Bobby lah yang membutuhkan Anta tetap berada di dalam hidupnya.
Tidak boleh kemana-mana lagi...

Bobby membuka pintu kamar utama dengan perlahan. Mereguk aroma pomegranate dan red berries agar memenuhi rongga dadanya.
Sebelum akhirnya Bobby menyadari suasana kamar itu begitu...
Redup...
Hangat...
Dan...

Ia meneguk salivanya dengan susah payah.

Sensual...

Ada suara asing kemudian terdengar dari dalam walk in closet milik Anta.
Entah mengapa Bobby malah tidak ingin mendekat.

Ia membeku saja disitu.

Dan, benar saja.

Anta keluar dari ruangan itu dengan mengenakan kemeja kerja yang Bobby sengaja tinggalkan disana, takut-takut ia mendapatkan panggilan interview kala dirinya menginap secara mendadak.

Dengan rambut pirangnya yang berantakan, juga senyumnya yang manis...

Kedua mata milik Bobby membulat tidak percaya.

Anta tidak pernah berpakaian seperti ini sebelumnya.

Bahkan saat dirinya menginap kemarin-kemarin.

" 'Nta...?"

Anta sedikit-sedikit mencoba menarik pinggiran kemeja demi lebih menutupi paha berisinya itu, walau tentu saja itu merupakan hal yang sia-sia.

"Aku belum kasih hadiah wisudamu..." kata Anta dengan suaranya yang bergetar, antara menahan malu, juga gairahnya yang tiba-tiba saja naik sedetik setelah ia melihat Bobby sudah berada dihadapannya tadi.
"Kamu enggak nagih, jadi aku berinisiatif untuk memulai duluan..."

Bobby lagi-lagi menelan salivanya dengan susah payah.

Gusti nu agung...

"Hmm..." Anta menundukkan kepalanya, mencoba meredamkan suara deguban jantungnya, juga upayanya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah, padahal penerangan kamar tidurnya itu sudah setengah gelap.
"I was waiting you to ask me that i'm ready or not..."

Can We Talk? - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang