3 🎭

24 18 11
                                    

-
-
-

Matahari pelan-pelan naik, menyinari semesta dengan segala pesonanya. Carla dan keluarganya sedang berada di meja makan untuk sarapan. Sarapan bersama sudah menjadi rutinitas di keluarga Carla.

“Gimana Car, kamu diterima ngga jadi anggota teater?” tanya Emily, Ibu Carla.

“Belum tau mom, baru aja kemarin ngisi formulir, nunggu konfirmasi mom, mudah-mudahan sih diterima,” ujar Carla.

Sang Ayah sebelumnya tidak mengetahui Carla berkeinginan mengikuti Teater, ia pun berkomentar. “loh, anak ayah ikut teater? Teater mana Car?”

Carla melirik ibunya sejenak. Lalu menyudahi kunyahan nasi gorengnya. Carla merasa sangat beruntung memiliki Ibu dan Ayah yang peduli dengan kegiatan yang ia lakukan.

Dito, sang Ayah bukanlah sosok Ayah yang otoriter, yang harus menuruti ego dirinya saja. Ia ingin anaknya melakukan hal-hal yang mereka sukai, bukan karena paksaan.

“Carla ikut di Teater No 7, dad ...,” jawab Carla. Carla memang memanggil orang tuanya dengan Mom dan Daddy.

“Wah bagus dong, teater terkenal. Daddy harap kamu mengikuti kegiatan, apa pun itu, selalu memberikan usaha semaksimal mungkin yah,” ujar Dito.

“Okay dad.”

Hanya satu orang yang dari tadi tidak bersuara, yaitu adik laki-laki  Carla, Laskar.

Laki-laki yang masih remaja itu biasanya cerewet. Dengan iseng Carla menyubit pipinya. Yang membuat Ayah dan Ibunya geleng-geleng kepala, sudah biasa melihat Carla dan Laskar seperti itu.

“Gila lu, sakit pipi gue kak,” ringis Laskar.

“Tumben banget lu diem,” balas Carla melepaskan cubitannya.

“Gue lagi menikmati sepiring nasi goreng yang lengkap dengan telur ceplok, kata Luna kita harus menikmati makanan dalam diam dan hikmat.”

Krik krik krik.

Seiring dengan bunyi jangkrik, Carla, Emily dan Dito hanya tersenyum, mereka sudah bosan mendengar Laskar menyebut dan membahas mengenai Luna.

Laskar, sangat mengagumi Luna, teman sekelasnya di bangku 2 SMA saat ini. Bahkan Carla terang-terangan mengejek Laskar, karena Luna hanya menganggap Laskar sebagai temannya.

Setelah keluarga itu sarapan bersama, mereka melanjutkan aktifitasnya masing-masing.

Laskar berangkat ke SMA, Ibu melanjutkan lukisannya, dan Ayah pergi ke kantor untuk bekerja.

Sedangkan Carla berangkat ke kampus yang jaraknya lumayan jauh dari rumah menggunakan motor.

Untung saja mata kuliah yang Carla ambil tidak ada yang jadwalnya terlalu pagi. Seperti hari ini, mata kuliah pertama baru akan dimulai pada pukul 10.00 pagi.

***

“Arav, kamu ngga sarapan dulu?” tanya sang Ibu dari meja makan.

Diana, Ibu Arav selalu sarapan sendirian. Sang suami, pergi entah kemana.

Arav, adalah putra satu-satunya Diana.

Satu yang Diana sesalkan adalah tidak terlalu dekat dengan Arav waktu kecil. Kakek dan nenek Arav lah yang selalu menjaga dan menemani Arav.

“Arav buru-buru ma, mungkin lain kali,” ujar Arav.

Jawaban yang sama diberikan Arav setiap kali Diana meminta mereka untuk sarapan bersama. Diana tahu, kata “lain kali” Arav adalah “tidak mau.”

Theater No 7 || Hendery WayV(On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang