17. Final

187 14 0
                                    

Dua foto itu diletakkan di meja. Aku menelan ludah dengan perasaan tak menentu. Barang bukti inilah yang menyebabkan aibku terbongkar.

"Ini Papa minta dari pihak kepolisian setelah membayar biaya penangguhan penahanan kamu."

Aku menatap Papa dengan lekat dan sudah mempersiapkan diri jika mendapat amukan darinya.

"Menurut Riska, foto wanita ini adalah Sinta pelanggan butiknya. Dan dia ... istri salah seorang pejabat ternama. Papa tau, cuma gak terlalu dekat."

Lagi-lagi aku terdiam dengan lidah kelu. Dadaku berdentam hebat hingga bernafaspun rasanya sulit. Keringat dingin sejak tadi mengucur deras dari sela-sela telapak tangan.

"Jika sampai ini tercium media, maka reputasi kita semua akan hancur. Papa juga gak mau punya musuh sama pejabat lain, Rahman. Apalagi suami Sinta punya jabatan yang lebih tinggi."

"Katanya Papa bayar mahal untuk nutupin semua?"

Papa mertuaku mengangguk. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah.

"Papa gak mau terlibat masalah apa pun selama masih memangku jabatan itu. Baiknya, kita tutup kasus ini. Kamu lupakan semua. Jauhi mereka, pura-pura gak ada apa-apa."

"Aku gak bisa, Pa."

Papa menunduk sesaat, lalu menggeser duduknya hingga mendekatiku.

"Rahman, apa benar kamu dulu seorang--"

"Benar, Pa. Itu waktu kuliah. Aku--"

Ucapanku terpotong ketika sebuah cengkeraman kuat di kerah baju. Itu membuatku terkejut karena Papa terlihat begitu emosional.

"Sorry," ucap Papa sembari melepaskan tangannya lalu mengusap wajah.

Aku tahu beliau sebenarnya menyimpan amarah, hanya saja berusaha mengendalikannya.

"Cetitakan semua sama Papa tanpa ada yang perlu ditutupi lagi."

Aku memulainya, mengungkap semua dari awal kuliah hingga pertemuan dengan Fredy, lalu bergulir tentang pekerjaan itu dan Sinta. Ketika mengatakan bahwa pelangganku banyak, papa mengucap istigfar berulang kali sembari mengusap dada.

"Tapi semua udah lama aku tinggalin sejak bengkel dibuka. Dulu kami kesulitan keuangan setelah Bapak meninggal. Jadi ... aku terpaksa, Pa."

Kembali kulihat papa menggeleng berulang kali. Mungkin dia menyesal telah menyerahkan putrinya kepada orang yang salah.

"Lalu kenapa sampai timbul pemerasan?"

"Fredy butuh uang. Dia menjual foto-foto aku dulu. Semua kacau sejak Sinta datang kembali. Sepertinya mereka sengaja karena dendam."

Suasana hening untuk beberapa lama. Papa berdiri dan mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. Sebelah tangannya diselipkan di saku celana. Aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Rasanya serba salah semua.

"Papa sempat ketemu Fredy dan dia mengakui perbuatannya waktu menjebak kamu di hutan."

"Dia juga yang membakar bengkel."

"Ya benar. Dia juga mengakui hal itu."

"Jadi, gimana kelanjutannya, Pa?"

"Papa udah minta polisi untuk menyelidiki. Mereka sedang mengumpulkan barang bukti. Fredy mungkin akan ditahan setelah masa rehabilitasinya selesai."

Aku mengembuskan napas dengan kasar dan menghabiskan air mineral dengan cepat.

"Lalu Riska?"

"Untuk itu ... Papa gak bisa memaksakan. Dia syok setelah tau kamu pernah berhubungan dengan Sinta."

Taubat Sang Pendosa [Tamat]Where stories live. Discover now