4. Teror

229 22 1
                                    

Sepanjang perjalanan pulang kami terdiam. Aku melirik Riska berkali-kali, menatap wajah cantik yang selalu menggetarkan hati. Wanita baik hati yang mau menerimaku apa adanya, sekalipun dia berasal dari keluarga berada. 

"Mas mau bicara apa di rumah?" tanya Sinta memecah keheningan.

Aku menarik napas panjang, merasa lebih lega. Jika Riska sudah mau bicara, itu berarti amarahnya mulai mereda. Tinggal bagaimana aku membujuk agar dia memaafkan. Bukankah laki-laki selalu salah di mata wanita? Dan untuk itu, aku menerimanya, karena aku memang bersalah.

"Aku ... mau minta maaf. Banyak salah sama kamu," jawabku cepat.

Tadi aku meminta Riska untuk menyerahkan butik kepada salah satu asisten, sehingga dia bisa pulang lebih awal.

Riska menatapku, bersamaan dengan aku yang balas meliriknya. Mata kami bertautan sesaat, lalu aku kembali fokus menyetir.

"Oh, iya. Mas kenal Tante Sinta di mana? Kok, kayaknya akrab gitu." 

Pertanyaan itu membuyarkan konsentrasiku. Mata Riska menatap dengan penuh selidik dengan tangan yang terlipat di dada. Seketika aku menjadi gemas melihat ekspresinya.

"Lupa." 

Kukeluarkan jawaban andalah kaum Adam jika malas menjelaskan sesuatu. Berpura-pura tak mengingat itu adalah jalan teraman agar tak mendapat amukan dari kaum Hawa. 

Seayu apapun Riska, dia akan berubah menjadi singa betina jika emosinya memuncak. Apalagi jika sampai dia tahu hubunganku dan Sinta dulu. Ditambah kondisiku yang sekarang, maka lengkaplah sudah. 

"Dia itu pelanggan butik beberapa bulan ini. Gak tau dapat rekomendasi dari mana. Kalau pesan gaun pasti yang paling mahal, terus maunya aku sendiri yang jahit, bukan karyawan," jelasnya. 

"Memangnya dia kerja apa? Kok banyak banget uangnya?" tanyaku pura-pura tidak tahu sembari fokus menyetir, padahal dalam hati berdebar kencang.

"Istri pejabat. Uangnya banyak, gak ada serinya kali. Ngalir kayak air," lanjut Riska.

"Ada pesenan apa sampai dibilang tamu penting?" tanyaku lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan. 

"Kebaya sama beskap buat acara keluarga bulan depan. Lima belas pasang. Katanya sih, ada keponakannya mau nikahan. Dia nyumbang itu." 

Riska tampak bersemangat saat menjelaskan. Wajahnya berseri-seri setiap kali membicarakan pekerjaan. Itulah yang membuat aku jatuh hati selain kebaikan hatinya.

Sayang, Riska tak tahu masa lalu suaminya. Aku memang pengecut, tak berani mengatakan semua kebenaran itu hingga kini. Belum siap jika sampai kehilangan orang-orang yang disayang hanya karena masa lalu yang buruk.

Tak semua orang bisa menerima keadaan kita yang sekarang, sekalipun telah berubah dan memperbaiki diri. Lalu, ketika aku sudah bersunguh-sungguh melakukan itu, mengapa ujian datang kembali?

Beginikah jalan hidup manusia? Diuji tiada henti hingga kelak ajal menjemput?

"Banyak, dong dapat cuannya," candaku yang sukses menciptakan lengkung manis dibibirnya.

"Buat bonus anak-anak akhir tahun."

Kami bercerita seperti biasanya, mengalir seolah-olah tidak pernah bertengkar sebelumnya. Sesampainya di rumah, kuparkir mobil dengan cantik di halaman depan. Tempat berteduh sederhana yang dibeli berdua dengan hasil usaha sendiri. 

Begitu daun pintu tertutup, kutarik lembut lengannya. Aku rindu. Selama satu minggu tak memeluknya, terasa ada yang hampa.

"Baru nyampai juga." Pipi Riska merona.

Sikapnya itu membuatku gemas dan semakin erat merengkuhnya.

"Masih marah?" tanyaku mesra.

Riska membuang pandangan sembari menggeleng. Lalu, kubawa di ke kamar dan menyelesaikan semua. 

***

Aku terbangun saat dering ponsel berbunyi tiada henti. Sepertinya aku mengaktifkam mode silnet karena terlalu lelah dengan kebersaaman bersama Riska seharian ini.

Kunyalakan lampu kamar dan melirik ke arah jam di dinding. Jarumnya menunjukkan angka satu. Siapa yang iseng menelepon tengah malam begini? 

Aku mengambil ponsel dan melihat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Kuangkat pada dering ke sekian. Siapa tahu memang penting, bukan?

"Rahman, ini Sinta." Terdengar suara lembut san agak serak di seberang sana.

Aku mengumpat berkali-kali. Untuk apalagi dia menganggu. Nomornya yang dulu pernah menghubungi, sudah kublokir. Salahku malah lupa mengganti dengan nomor sendiri dengan yang baru. 

"Jangan ganggu aku lagi," bisikku karena takut Riska terbangun. Aku bahkan menutup mulut saat berbicara.

"Tapi aku kangen."

"Aku sudah gak kerja begitu lagi. Baiknya Tante cari orang lain," jawabku cepat.

"Aku gak bisa lupain kamu. Aku, kan, orang yang pertama kali sama kamu. Inget malam itu, gak?" katanya lagi.

Pertanyaan itu membuatku geram dan ingin segera memutuskan sambungan. 

"Aku sudah bahagia. Tolong jangan rusak rumah tanggaku. Tante juga punya keluarga. Jangan mempermalukan diri sendiri."

Tut!

Sambungan telepon kuputus begitu saja bersamaan dengan kepala yang terasa sakit karena terbangun tadi. Aku berjalan menuju kamar mandi dan mencuci muka, menatap wajah berdosa ini dari pantulan kaca. 

Entah bagaimana kehidupan ini akan berlangsung kedepannya. Aku hanya bisa pasrah. Kadang, kita memang harus menerima takdir yang telah ditetapkan sekalipun itu menyakitkan. Maka berdamai dengannya adalah jalan menuju ketenangan hati. 

Aku kembali ke kamar dan mengambil segelas air di meja dan menghabiskannya dengan cepat, lalu duduk di ranjang, hendak melanjutkan tidur. 

Ponsel kembali berbunyi. Aku membukanya karena ada sebuah pesan yang masuk. 

'Aku mau ketemu. Berdua. Kalau kamu gak mau juga, aku sebar foto-foto kita.'

"Foto? Ah, si--"

Kuabaikan lagi, karena jika diladeni malah akan semakin menjadi. Lalu, sebuah gambar aku dan dia, entah di malam yang mana, muncul di pesan itu.

Aku segera menghapusnya karena merasa jijik melihat perilaku yang dulu. Selain itu, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Riska membuka ponselku.

Kami memang menjaga privasi dengan tidak mencampuri urusan masing-masing. Namun, kadang-kadang aku membiarkan Riska memakai ponselku jika dia ingin meminta nomor seseorang.

"Mas."

Panggilan Riska mengangetkanku.

"Apa, Sayang?"

"Siapa telepon? Kok, Mas bisik-bisik?" tanyanya dengan mata yang masih terpejam.

Aku segera merengkuh Riska dengan erat lalu mengusap anak rambutnya yang terjuntai di pelipis.

"Anak bengkel," jawabku berbohong.

"Ada apa malam begini?"

Riska membuka mata dan menatapku lekat, lalu membenamkan kepalanya ke dalam dekapanku.

"Mau ... pijam uang."

Riska mengeratkan pelukan dan kembali memejamkan mata. Aku mengucap syukur dalam hati bahwa dia tak curiga dan kembali tidur.

Sepertinya, aku memang harus bertemu dengan Sinta untuk menyelesaikan semua. Wanita itu akan terus meneror selama keinginannya belum terpenuhi.

Taubat Sang Pendosa [Tamat]Where stories live. Discover now