14. Permohonan

158 9 0
                                    

Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kediaman mertua. Tadi pagi aku pulang diboncengi suami Dina dan mendapati rumah kosong. Pikirku, Riska pasti sudah berada di butik karena katanya sedang direnovasi.

Sayangnya, butik juga kosong. Aku mencoba menelepon Riska tetapi nomornya tidak aktif. Rasa khawatir berkecamuk di benak, takut terjadi sesuatu kepadanya.

"Assalamualaikum," kuketuk pintu rumah megah itu karena bel yang kutekan berulang kali sama sekali tak membuahkan hasil.

Awalnya kupikir rumah ini kosong karena penghuninya sedang keluar. Namun, ketika melihat di garasi ada tiga mobil berderet, itu berarti mereka ada di dalam.

"Assalamualaikum." Kuketuk sekali lagi dengan cukup keras, hingga pintu terbuka.

"Eh ada Mas Rahman," ucap salah seorang pengurus rumah menyapaku.

"Mbak Riska?"

"Non Riska gak ada di sini," ucapnya gugup.

"Itu mobilnya ada di garasi," kataku menyudutkan. Aku tahu dia berbohong, entah siapa yang menyuruh.

Aku merasa seperti orang asing saat berada di rumah mertua sendiri. Jangankan disuruh masuk, dikabari Riska tidak ada saja itu seperti mengusirku diam-diam.

"Anu, Mas. Mobilnya memang ada tapi orangnya ndak ada," jawab pengurus rumah itu ketakutan.

"Kalau begitu saya mau masuk. Mau bicara sama Mama. Ada hal penting yang harus saya sampaikan," pintaku dengan sedikit mendorong tubunya agar daun pintu terbuka lebar.

"Maaf, Mas. Nyonya lagi kurang sehat. Jadi ndak nerima tamu," tolaknya lagi.

Aku mendelik, tak terima dengan ucapan itu. Kudorong tubuhnya yang renta dan bergegas ke dalam untuk mencari Riska.

"Dek! Dek! Ini Mas datang."

Teriakanku menggema di ruangan itu. Aku menduga Riska bersembunyi di atas atau di ruangan lain. Aku terus berteriak mencari istriku, ketika sosok mama mertua muncul dengan wajah masam.

"Ini ada apa, sih? Bikin rusuh aja
pagi-pagi," ucapnya sembari berkacak pinggang. Sikapnya kali ini seperti orang asing. Padahal sebelumnya baik-baik saja.

"Riska di mana, Bu? Saya kangen," lirihku memohon.

"Kangen? Bukannya kamu suka bersenang-senang dengan wanita lain?" ketusnya.

Aku tertohok dengan ucapan itu. Aku ingin menjelaskan semua, tetapi situasi tidak memungkinkan. Aku hanya perlu bertemu dengan Riska saat ini untuk meminta maaf.

"Itu, dulu Ma. Aku sudah tinggalin semua. Sekarang aku mau ketemu Riska. Tolong jangan halangi," pintaku dengan suara memelas.

Rasa sakit akibat pukulan Fredy tak sebanding dengan hancurnya hatiku jika dipisahkan seperti ini dengan Riska.

"Dia gak ada di sini. Dia udah pergi. Baiknya kamu pulang. Benahi hidupmu sendiri. Jangan ganggu putriku!"

Seketika emosiku memuncak hingga ke ubun-ubun. Ucapan itu benar-benar membuatku panas. Aku berjalan cepat menuju ke dalam dan sengaja menyenggol mama mertuaku dengan keras sehingga dia terjatuh.

"Dek! Kamu di mana?"

Teriakanku kembali bergema di rumah itu. Kutelusuri satu per satu ruangan yang ada dengan membuka pintunya. Lalu, terdengar jerit minta tolong oleh mama mertuaku.

Kuabaikan kepanikannya dan bergegas menuju lantai atas. Kamar Riska ada di sana. Dulu di awal menikah kami sering menginap di sini.

"Dek, ayo kita pulang!"

Taubat Sang Pendosa [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang