13. Terbongkar

168 12 0
                                    

Aku mengerjap berulang kali, lalu merasakan sakit di kepala yang begitu hebat. Pandanganku tampak samar dan buram, bersamaan dengan nyeri yang menyerang di beberapa bagian tubuh.

"Rahman. Kamu sudah sadar, Le?"

Sayup-sayup kudengar suara lembut itu berbisik di telinga. Perlahan kutatap wajah sayu di sebelahku dengan penuh haru. Ada air yang menetes di kedua sudut matanya. Isaknya yang tadi lirih kini semakin jelas terdengar.

"Bu," ucapku pelan.

"Alhamdulillah kamu sadar."

Ibu memelukku dengan erat bersamaan dengan tangis yang semakin menjadi. Aku mengangkat tangan dan menepuk punggungnya.

"Jangan banyak gerak. Kamu harus istirahat."

Aku mengangguk, lalu kembali merasakan nyeri di kepala. Lalu, secara samar-samar, semua kejadian melintas di benak. Mulai dari kedatanganku ke camp, pertemuan dengan Fredy hingga perkelahian itu. 

"Riska mana, Bu?" tanyaku saat tak melihatnya di ruangan ini.

"Dia di depan," jawab Ibu.

"Aku mau ketemu."

Dalam kondisi begini, rasanya kehadiran istri adalah obat yang paling mujarab. 

"Nanti Ibu panggilkan dia. Kamu mau apa? Biar Ibu ambilkan."

"Air," jawabku ketika rasa haus tiba-tiba saja mendera.

Ibu berjalan menuju nakas dan mengambilkan sebotol air mineral.

"Ayo, minum."

Aku meneguknya pelan dari sedotan. Rasanya sedikit lega walaupun indera pengecapku terasa tidak nyaman.

"Kamu tunggu sebentar. Ibu panggilkan Riska."

Aku menatap Ibu lekat hingga sosoknya hilang dari pandangan. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Muncullah Riska yang datang mendekatiku.

Aroma harum tubuhnya menguar, sehingga menimbulkan rasa rindu di dalam hati. Ingin kudekap tubuhnya untuk melabuhkan semua keresahan.

"Mas," sapanya lembut yang membuat getar di hatiku semakin menjadi. Ah, aku memang mencintainya sedalam itu.

"Ya, Dek," ucapku sembari mencoba menyentuh wajahnya.

"Apa yang sakit?" Dia bertanya saat menggenggam tanganku.

"Semua."

"Sabar ya, Mas. Semua masih proses pemulihan."

Aku mengangguk, lalu membalas genggaman itu dengan memainkan jemari Riska. Kukunya begitu terawat dengan tangan yang halus mulus. Aku memang tak pernah membebaninya dengan pekerjaan rumah. Dia boleh melakukan apa saja yang diinginkan asal tahu batas.

"Kamu tadi di mana?" tanyaku setelah kami cukup lama terdiam.

"Di depan. Ada ... polisi."

Jantungku berdebar kencang. Rasa sakit kembali mendera tubuh. Bayangan kejadian di camp dan Fredy berkelebat di benak, berputar-putar silih berganti dan membuatku ketakutan.

"Polisi? Apa mereka mau menahan aku?"

Riska menggeleng.

"Papa udah bayar uang jaminan," jawabnya sembari mengusap kedua sudut mata. Aku tahu dia menangis, tetapi berusaha untuk tetap tegar.

"Dek, Mas habis berantem sama seseorang."

Aku pasrah jika pertemuanku dengan Fredy terbongkar semua. Saat ini kondisiku begitu lemah dan tak sanggup melakukan sesuatu. Dalam hatiku hanya berdoa, agar mereka tak tahu masa laluku. Semoga aib itu masih bisa terjaga hingga suatu saat aku menutup mata.

Taubat Sang Pendosa [Tamat]Where stories live. Discover now