8. Pengakuan

182 13 1
                                    

Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah.

"Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"

Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak.

"Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.

Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi.

"Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.

Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah aib yang sangat memalukan. Bahkan keluargaku sendiri tidak tahu. Yang mereka tahu, kiriman uang dariku lancar setiap bulannya untuk biaya sekolah Dina setelah Bapak meninggal.

Ketika Ibu bertanya darimana aku mendapatakannya, aku hanya menjawab dengan bekerja sampingan. Tak ada yang curiga selama bertahun-tahun aku menjalani itu. Sampai beberapa waktu ini, Sinta muncul dan meminta hubungan kami kembali seperti dulu.

"Tenang, Dek. Duduk." Aku menarik lengan Riska kemudian menatapnya lekat.

Riska membuang pandangan sembari tersenyum sinis. Ternyata istriku menyimpan rasa kesal yang dipendam dan sekarang meluap begitu saja. Aku memang tidak peka, menganggap semua baik-baik saja, karena melihat sikapnya yang biasa.

"Ini kamu, kan?" Dia menunjukkan kembali fotoku sewaktu di Kopi Tiam.

"Aku gak bodoh, Mas. Aku tahu itu kamu."

Kutelan ludah berkali-kali kemudian menarik napas panjang.

"Iya, itu aku." Jujur. Sudah ketahuan, mau apalagi?

"Ngapain di sana? Kok gak ngasih tau aku?"

"Cuma ngobrol biasa, tapi cuma sebentar. Dia tanya kabar."

"Terus?"

"Kami memang pernah kenal dulu sewaktu aku masih kuliah. Tante Sinta itu baik, dia ... banyak bantu."

Dengan berat hati aku mengatakannya. Posisiku sekarang terjepit, seperti tahanan yang sedang diinterogasi oleh penyidik. Jika salah menjawab maka hukumam akan bertambah berat.

"Kenapa bisa begitu?"

"Ya dia bantu aja. Memangnya salah? Mas kan kesulitan keuangan. Jadi dia nolongin. Kayak anak asuh gitu," jelasku dengan perasaan tak menentu, berharap Riska percaya dan tak mengungkit lagi.

"Anak asuh kok mesra?"

"Siapa yang mesra? Mas biasa aja," elakku.

"Tante Sinta."

Tajamnya ucapan Riska membuatku gregetan. Pertanyaannya tak habis-habis. Begitulah wanita jika masih belum puas akan sesuatu.

"Mungkin memang gayanya begitu," jawabku asal.

Matanya mendelik penuh curiga.

"Mas sama orang tua asuhnya kok begitu? Kayak pura-pura gak kenal," tanya Riska lagi.

Tuhan, mau jawab apa ini?

"Itukan udah lama. Lagipula cuma sebentar bantuannya."

Berbohong demi kebaikan bagi kaum lelaki itu sah saja, apalagi dalam situasi seperti ini. Jika dijawab jujur malah akan menambah masalah. Sekarang aku tinggal memikirkan bagaimana cara agar Sinta menjauhi kami.

Taubat Sang Pendosa [Tamat]Where stories live. Discover now