2. Kencan dan Bantaian

25 2 0
                                    

Aku dan Ibu pagi ini berbelanja bersama. Biasanya hanya Ibu, sementara aku menyiapkan bumbu untuk memasak sarapan. Tapi pagi ini aku ikut, sebab ada beberapa bahan yang kubutuhkan untuk membuat dimsum. Makanan itu nantinya akan kugunakan untuk menyogok rasa kesal Mas Emir yang tersisa. 

Pak Mahdi—tukang sayur keliling terlengkap dan teramai di daerah rumahku—sedang sibuk melayani ibu-ibu yang mengelilingi mobil pick up-nya. Mulut mereka sama gesit dengan gerakan Pak Mahdi. Meski begitu, tangan mereka cekatan sekali memilih bahan yang dibutuhkan untuk memasak hari ini.

"Loh, Nura ikut belanja?" Bu Santi, tetangga yang rumahnya ada di belakang rumahku tiba-tiba menyapa. Dia menghentikan obrolan dengan Bu Tedja yang ada di sebelahnya, dan kini malah menjadikanku pusat perhatian.

Ibu-ibu lain mulai menoleh kala mendengar namaku. Aku pun tau bahwa aku adalah santapan lezat bagi mulut-mulut kelaparan mereka.

"Iya, Bu," jawabku sambil mengulas senyum tipis. Kulirik Ibu menatap sebal pada sayuran di depannya. Bibirnya sudah manyun, meski dia lakukan sembunyi-sembunyi.

"Mau masak apa?" tanya Bu Santi lagi.

"Mau buat dimsum," jawabku.

"Dimsam?"

Aku tertawa dalam hati kala mendengar cara Bu Santi mengucapkan nama kembaran tak identik dari siomai itu. "Yang seperti siomai, Bu," jelasku.

"Oh," sahut Bu Santi. "Eh, tahun ini gagal masuk CPNS lagi, ya?"

Aku sudah tau bahwa topik itu akan menjadi salah satu bahasan kalau aku nekat menceburkan diri di dalam kubangan ibu-ibu kepo ini. Maka dari itu, rasa kagetku tidak terlalu besar saat mendengar pertanyaan Bu Santi. Hanya saja, ekspresi masam Ibu membuatku cepat-cepat memilih ayam dan udang agar bisa segera hengkang.

"Iya, Bu." Kali ini aku menjawab tanpa menatap. Fokusku ada pada plastik-plastik berisi udang yang tampak segar. 

Aku memang sudah tiga kali mengikuti tes CPNS—dengan paksaan Ibu tentunya. Padahal aku tak punya keinginan sedikit pun jadi bagian dari pekerja negeri itu. Namun, Ibu marah-marah dan khawatir keluarga Mas Emir tidak akan menerimaku dengan pekerjaanku sebagai guru di sekolah swasta. Akan tetapi, entah kenapa aku jadi tidak lulus meski sudah belajar sesuai buku yang banyak dijual saat masa-masa pendaftaran CPNS dibuka.

"Wah, sayang sekali. Kamu nggak belajar? Si Arman cuma sekali, untungnya langsung tembus. Dia belajar di tempat bimbingan Xukses. Tahun depan kamu ke sana saja." Ini Bu Tedja yang berbicara. Mantan Bu RT tahun lalu itu begitu senang membanggakan anak sulungnya yang berprofesi sebagai perawat.

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum tipis, lalu mengangguk. Sementara Ibu masih tetap tutup mulut di sebelahku, mungkin sudah lelah bertarung lidah untuk anaknya ini.

"Nikah saja dulu, Ra." Bu Asmi yang sekarang jadi Bu RT baru, ikut-ikut angkat suara. Di tangannya ada satu plastik ikan tongkol dan sayuran yang sudah dibayar. Pak Mahdi yang ada di sebelahnya sedang mengaduk tas kecil di pinggang untuk mencari kembalian.

"Iya."

"Pacarmu masih yang itu, kan? Yang kalau ke sini gonta-ganti mobil bagus itu, kan?"

Aku tersenyum tipis. Mas Emir memang sering saling tukar mobil dengan keluarganya. Aku tidak tahu ada kebiasaan aneh seperti itu mulanya, sampai kemudian melihat Mas Emir melakukannya. Padahal menurutku mobil pribadi yang dipakai sendiri lebih nyaman. Apalagi terkadang ada barang-barang yang sengaja khusus disimpan di dalam mobil, jika sewaktu-waktu diperlukan. 

"Iya, Bu." Jawaban standarku terlalu banyak keluar pagi ini.

"Terus kapan nikah? Masa pacaran terus?" celetuk Bu Santi.

The Distraction: Musikmu dan PertunangankuWhere stories live. Discover now