"Biar Cakra kalau tidur nggak perlu meringkuk lagi..."

"Biar Cakra kalau bangun tidur badannya nggak sakit-sakit lagi... hiks!"

"Cakra... Bang Mara kangen sama Cakra..."

"Bang Mara pengen liat senyum Cakra lagi, Bang Mara pengen denger suara ketawanya Cakra lagi..."

"Bang Mara mau Cakra disini temenin Bang Mara..."

"Cakra..."

"Badannya Bang Mara sakit semua... Akh!"

"Bang Mara nggak mau disini. Bang Mara pengen nyusul Mama, Bunda, sama Cakra..."

"Bang Mara nggak suka sama Ayah... hiks!"

Badan Maratungga berguncang karena tangis.

---

Moa meletakkan kepalanya di atas meja, pandangannya jatuh pada kursi di sampingnya yang sudah lama kosong. Itu kursi milik Cakrawala. Dan sudah lama juga ia hanya duduk seorang diri.

Setelah kepergian Cakrawala, Moa yang dulu selalu berjalan dengan sorot mata tajam dan angkuh, kini hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang bisa jatuh kapan saja ketika dirinya kembali teringat akan sosok Cakrawala.

Di depan sana ada Pak Haecan yang sedang menerangkan pelajaran matematika. Sementara Moa hanya diam seraya meletakkan kepala di atas meja dan menatap kursi kosong di sampingnya.

Dalam diam, air mata Moa kembali mengalir, melewati batang hidungnya kemudian menetes di atas meja.

Semakin Moa berusaha melupakan Cakrawala, ingatan tentangnya justru semakin melekat diingatannya. Ketika Moa melewati tempat yang pernah ia kunjungi bersama Cakrawala ia selalu merasa sesak luar biasa, seperti ada yang menghimpit dadanya kuat-kuat. Jangankan tempat, melihat benda apapun yang berwarna kuning saja Moa sudah menangis.

Semakin lama tangisan Moa semakin terisak hingga membuat tubuhnya bergetar.

"HAAAAAAAAH!" Moa lagi-lagi menjerit.

Mendengar suara jeritan Moa, seketika Pak Haecan menghentikan aktivitas mengajarnya. Kini semua orang yang berada di kelas menoleh pada Moa, membuatnya seketika menjadi pusat perhatian.

Moa berdiri, menatap Pak Haecan yang sedang berdiri di depan kelas dengan sorot mata tajam dan rahang mengeras. Ia berjalan menghampiri guru tersebut.

Pak Haecan menatap muridnya itu dengan tatapan datar.

"KENAPA BAPAK CUMA DIAM SAJA WAKTU LIAT SAYA SAKITIN CAKRA?!"

Semua murid di kelas mendadak diam membisu ketika mendengar suara teriakan Moa.

"HA?!!! KENAPAAAA?!!!"

Air mata Moa kembali jatuh.

"Bapak itu orang dewasa... seharusnya bapak cegah saya buat ngelakuin itu...harusnya bapak nggak diam aja... hiks!"

Tenggorokan Pak Haecan mendadak kelu, terasa seperti ada sesuatu yang menyangkut hingga membuatnya kesulitan untuk menelan ludah. Hatinya bergetar melihat keadaan gadis itu.

Perasaan marah, kecewa, dan sedih melebur menjadi satu dalam diri seorang Moa Jatraji.

"Saya masih belum dewasa... Saya belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, seharusnya bapak tidak DIAM SAJA!!!!"

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now