|CHAPTER 59 | USAI

Bắt đầu từ đầu
                                    

"Bang Mara kangen sama Cakra..."

Air mata Maratungga jatuh, menetes membasahi buku usang milik Cakrawala yang sedang digenggamnya itu.

Cakrawala tidak pernah menceritakan apapun tentang hidupnya. Anak itu selalu memendam semuanya sendiri tanpa mau bercerita pada orang lain. Sebenarnya bukannya tidak mau bercerita, tapi ia tidak punya tempat untuk bercerita.

Dan buku diary kuning usang ini menjadi saksi bisu betapa kesepiannya seorang Cakrawala Agnibrata.

Aku sudah tidak ingin punya ayah lagi, sampai kemudian aku melihat Bunda tersenyum kepada laki-laki itu.

Bunda sangat bahagia bersamanya. Aku tidak mau membuat senyuman Bunda hilang.

Ayah baruku memakai jas, dia keren. Ayah baruku juga lebih suka minum jus. Hehe... sepertinya sangat baik. Semoga saja.

Aku juga punya kakak !!!
Aku panggil Bang Mara.

Bang Mara pipinya gembul, lucu, hehe...

Bang Mara, ayo, main!

Cakrawala terlalu polos hingga menganggap semua orang yang memakai jas itu adalah orang baik. Ayahnya memang lebih suka minum jus dibandingkan dengan minuman keras. Namun itu tidak membuktikan apapun, Cakrawala salah sangka terhadap ayah barunya.

Dan sebegitu sayangnya Cakrawala dengan Bunda hingga ia mengesampingkan ketidak inginannya itu. Anak seusia Cakrawala pikirannya hanya diisi oleh main, main, dan main. Akan tetapi Cakrawala, selain main ia juga dituntut untuk menjadi dewasa oleh keadaan.

Maratungga kembali membuka halaman diary itu, menggali lebih dalam apa yang selama ini Cakrawala pendam.

Sakit...

Bunda, ikut.

Cakra tidak mau lagi di sini.

Maratungga terisak semakin keras. Di atas kertas itu juga ada tetesan darah milik Cakrawala yang sudah mengering dan melunturkan beberapa huruf.

"Hiks!"

————

Kepergian Cakrawala benar-benar telah menjadi pukulan telak bagi seorang Moa Jatraji.

Ia sedang tidak baik-baik saja. Bayang-bayang bagaimana Cakrawala jatuh tepat di hadapannya selalu melintas di pikirannya, membuatnya seketika menangis, terkadang juga menjerit. Belum lagi kemarahannya pada Cakrawala membuatnya selalu diliputi oleh rasa bersalah.

Masih teringat jelas dibenak Moa ketika Cakrawala memintanya berjanji supaya tidak meninggalkannya.

"Moa janji ya jangan pergi?"

Cakrawala yang memintanya berjanji, namun ia justru yang pergi.

"Cakra nggak akan ninggalin, Moa."

"Cakra nggak akan pergi."

"Cakra akan selalu ada buat Moa."

Moa menangis.

"GUE BENCI SAMA LO! HAAAAAAAH!"

Moa paling benci dengan orang munafik! Moa benci!

Cakrawala itu munafik!

2. NOT ME ✔️ Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ