1. Mimpi

37 4 0
                                    

Aku terbangun dengan perasaan sesak luar biasa. Seolah-olah jantungku tengah dihimpit dari segala sisi, dan hanya menyisakan secuil bebas yang sekarat. Dadaku terasa nyeri, hingga aku mencengkram bagian depan baju tidurku dengan erat.

Suara detik jam yang nyaring di tengah malam, mengantarkan nyeri ke seluruh tubuh. Aku tidak bisa menahan diri untuk tak meringkuk seperti janin dalam kandungan. Dengan tubuh yang masih sedikit gemetar, aku mencoba memejamkan mata lagi. Namun, sosok itu ada di sana. Sosok yang sudah tak pernah kutemui lagi sejak tujuh tahun lalu.

Bagaimana bisa?

Satu menit berlalu, nyeri lebih menguasai perut dan kepala. Maka rasa mual datang tanpa permisi. Aku tidak tahu kondisi atau jenis perasaan apa ini, tapi yang pasti, saat ini aku ingin melihat wajahnya.

Lantas, di tengah kondisi menyebalkan itu aku mencoba merangkak—masih di atas kasur— menuju nakas. Tubuhku menjuntai ke lantai, saat kemudian kubuka lemari bagian bawah. Bunyi decitan engsel terdengar cukup nyaring, mengalahkan suara detik jam. Aku jadi bertanya-tanya, kapan terakhir kali kubuka lemari itu?

Sebuah kotak berwarna cokelat tua yang kini sudah kehilangan tuanya, langsung bersua dengan mataku. Tanpa mau ditahan, tanganku bergerak tergesa membuka tutup kotaknya. Beberapa helai foto ada di sana. Akan tetapi, seakan tau maunya hati, aku langsung menemukan foto yang kucari tanpa susah payah melawan keremangan cahaya. Foto saat usiaku dan usianya 17 tahun. Foto terakhir kita sebagai sahabat.

***

Mimpi semalam cukup membuat perasaanku kurang nyaman. Selama bekerja, aku sampai harus berkali-kali memasukkan permen mint ke dalam mulut untuk mengembalikan fokus. Beruntung murid-murid tak ada yang protes dengan kelakuanku, padahal jelas dituliskan dalam peraturan sekolah bahwa selama pelajaran dilarang makan.

Sekarang sudah pukul 15.45. Tinggal lima belas menit lagi sebelum sekolah dibubarkan. Kelasku sudah berakhir sejak dua jam yang lalu. Namun, siapa pun itu tak akan diperkenankan meninggalkan sekolah sebelum jam pulang.

Ruang guru yang lebar dan luas ini hanya dihuni oleh diriku sendiri, hingga suara pendingin ruangannya jadi terdengar lebih berisik. Hawa ruangan terasa lebih dingin dibanding jika semua penghuni ada di balik mejanya masing-masing.

Pada akhirnya, waktu menunggu itu kupakai untuk berbalas pesan singkat dengan Mas Emir—pacarku selama kurang lebih enam tahun. Dia mengabarkan bahwa malam ini tak bisa menemuiku, karena ada undangan makan malam dari salah satu investornya. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal-hal seperti ini, kecuali kalau dia mulai memaksaku untuk ikut.

Mas Emir
Kamu nggak pa-pa, kan?

Aku mengernyit kala membaca pesan Mas Emir. Aku tidak merasa melakukan hal apa pun yang bisa membuatnya menanyakan hal itu. Karena penasaran, aku membaca ulang pesan-pesan kami sejak pagi ini. Akan tetapi, tidak ada hal aneh yang bisa kutemukan.

Nura
Memangnya kenapa?

Mas Emir
Ada sesuatu yang sepertinya lagi mengganggu pikiranmu.

Ini adalah dampak kalau kita terlalu lama bersama seseorang. Dia jadi tahu banyak hal atau bisa merasakan kalau ada something yang tidak beres pada kita meski tanpa bersua. Mas Emir adalah tipe yang demikian. Dia terkadang bisa terlalu peka—meski tidak pekanya juga tak kalah sering. Aku sempat menduga itu disebabkan oleh sifat penyayangnya yang terlalu meluap-luap. Maksudku, kepada siapa pun. Tetapi, di tahun ketiga kami pacaran, aku baru tau kalau penyebabnya adalah pengalaman. Ya, experience is the best teacher, right?

The Distraction: Musikmu dan PertunangankuWhere stories live. Discover now